"Fa, bawa cermin g?" Seorang teman di sampingku tampak sibuk memperbaiki posisi kerudungnya usai shalat.
"Udah bener belum?" Tanya lagi sebelum sempat kujawab yang pertama.
"G punya yah?!" Hadeuuhh...! Miring g sih?"
Tawaku pecah melihat gelagatnya yang sibuk sendiri.
"Sini..sini..!" Tanganku mulai menjamah kerudungnya, set set set.
Nah, saat itu, satu pelajaran kembali tersadari. Pentingnya sebuah cermin.
Ya, Cermin, dengan keberadaannya maka akan terlihatlah penampilan kita. Banyak celah diri yang bisa terkoreksi, kerudung yang miring, bedak yang ketebalan, wajah jerawatan, pakaian yang g macthing, rambut yang berantakan, bahkan maaf...kotoran mata yang nempel di sudut-sudut mata sekalipun dapat terdeteksi. Haha. Subhanallah..dengan bantuannya banyak hal menjadi lebih indah bukan?
Ngomong-ngomong soal cermin, saya selalu teringat dengan sebuah pengalaman super
Terjemahan:
(1) Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi bertasbih kepada Allah; dan Dialah Yang Mahaperkasa, lagi Mahabijaksana. (2) Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (3) (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (4) Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.
Malam itu, mata kami tertutup rapat dengan kain putih. Namun telingaku menangkap gemuruh suara dari berbagai penjuru. Keramaian yang menentramkan. Aku yakin duduk melingkar saling berhadapan dengan teman sekelompokku. Berpegangan tangan, saling membimbing satu sama lain.
"Ayo ulang lagi yuk! Bareng-bareng!" Seorang teman mengomando.
Ayat-ayat di atas terlantun berjamaah dari mulut kami. Senyumku terkembang, meski mungkin hanya aku yang tahu.
"Lagi...lagi..! Apa teh? 'indallaha yuhibbul...apa?" Kata seorang di sebelahku.
"Yuhibbul lazinaa..yuqootiluuna, fiisabiilihi, shooffa, kaannahum bunyaanan, marshosh.." Kueja perkata diikuti komat-kamitnya. Diulang lagi-diulang lagi. Hingga bisa sendiri, dia bersorak. Alhamduliillah.. ^_^
Malam itu, kami calon SSG atas perintah para pelatih harus menghafalkan 4 ayat di atas.
Maksudnya? Seingat saya malam itu, tak ada yang menjelaskan mengapa harus surah itu dan ayat yang itu. Tapi, justru, dengannya kami jadi mencari tahu sendiri, menyimpulkan sendiri, berpikir sendiri, menggali makna, hikmah sendiri-sendiri, personel.
Dan salah satunya, menimbulkan kesadaran akan perintah untuk sering-sering bercermin! Langsung dari Sang Maha Melihat, Maha Mengetahui, dalam ayatnya yang tiada cacat.
Nah lo, apa hubungannya dengan cermin?
Kau pernah dengar kalimat-kalimat ini?
"Nasihat itu ibarat melempar bola. Semakin kau lempar bola, semakin dashyat kembalinya kepada diri kita."
Maknanya, semakin banyak dan sering kita mengeluarkan nasihat kepada sesama, maka bersiaplah atas kembalinya nasihat itu kepada diri sendiri.
Dalam bukunya My Adventure My life, mas Ahmad Rifa'i Rif'an pernah bilang
"Saat kau menasihatkan kekuatan cinta, bersiaplah cintamu akan diuji. Saat kau menasihatkan kesabaran hidup, bersiaplah hidupmu bakal digempur masalah. Saat kau menasihatkan tentang penguatan iman, bersiaplah imanmu akan diterjang beragam goda."
See? Begitu dashyat pantulan bola yang sudah kita lemparkan. Nasihat yang sudah kita keluarkan.
Lain lagi sama saudara kita penulis super Bambang Achdiat dalam bukunya Find Your Best Teacher
Kurang lebih beliau memaparkan, bahwa mengapa para murid cenderung bosan dengan ritual ceramah si kepala sekolah saat upacara berlangsung? Salah satunya karena banyak di antara mereka hanya "omdo (omong doank)". Mereka hanya menyeru kepada murid untuk berlaku baik, jadi orang hebat, dan bla bla bla. Dengan mengikut sertakan contoh-contoh perilaku orang-orang teladan, lantas mereka sendiri? Tidak sama sekali melakukan apa yang mereka ucapkan. Mengapa tak berikan contoh melalui diri sendiri? Maka mungkin itu lebih merasuk, dapat diterima lebih cepat, tertransfer ke dalam hati dengan high speed.
Seiring dengan itu, Pak Solikhin Abu Izzuddin menulis "Nasihat itu seperti menarik busur panah. Semakin kuat tarikannya, semakin baik persiapannya, semakin jernih keikhlasannya, semakin kuatlah pengaruhnya ke dalam jiwa yang kita nasihati. Apa yang keluar dalam hati akan sampai ke hati. Apa yang keluar dari lisan hanya akan sampai ke telinga."
Nah, Begitulah pentingnya si cermin.
Tak takutkah kita akan ancaman ayat di atas? "Itu sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."
Talk less do more.
"Kalau begitu, ya udahlah, saya mau jadi pendiam aja! G mau ngomong lagi, nasihatin orang, takut dibenci ma Allah. Mending saya perbaiki dulu diri sendiri. Kalau udah bener, bolehlah saya share sama orang lain." Saya juga awalnya berpikir serupa, mengeluarkan kalimat ini.
Tapi, ini jadi lucu setelah dipikirkan lagi. Sampai kapan saya akan benar? Bukankah manusia tempatnya salah dan khilaf? Kalaupun akhirnya saya berhasil melakukan kebaikan, apakah kebaikan itu akan terus melingkupi diri saya? Sementara iman seseorang itu sudah jelas naik turun.
Siapa pula yang akan menasihatkan saya bila semua orang berpikir seperti ini? Semua orang memilih diam. Hening. Lantas, dimana eksistensi dan perwujudan perintah Allah di dalam QS. Al-Ashr tentang saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran? Habis? End disini?
Maka, justru inilah saat yang tepat untuk mengambil langkah dashyat, mengambil resiko kehidupan.
Dalam buku yang sama, Ahmad Rif'ai Rif'an kemudian melanjutkan paragraf yang tadi.
"Dulu, saya sangat takut dengan risiko menasihatkan kebaikan. Karena Allah seringkali menjadikan si penasihat sebagai pengamal pertama dari apa yang dinasihatkannya. Tapi kini, saya makin suka dengan hal itu. Karena bisa jadi dengan begitulah cara Tuhan meningkatkan kualitas hidup kita.
Dengan menasihatkan sesuatu pada orang lain, memaksa kita mengamalkan apa yang sudah kita nasihatkan. Karena agama sangat mengecam keras ucapan yang tidak sesuai dengan perbuatan."
Maka, masihkah kita takut untuk mengangkat suara, Berkata yang baik, Menyampaikan yang ma'ruf? Padahal ini bisa jadi kesempatan untuk kita agar terus melesat naik tingkat.
Tapi tentu, kembali lagi, sambil menasihatkan, sambil berbenah diri, itulah yang seharusnya dilakukan.
Terus baik dan membaikkan.
Sering-seringlah bawa CERMIN! Dan berikan pula kesempatan kepada yang lain untuk menggunakannya.
Mari terus memperbaiki diri bersama... Semangaaat!!!
Oleh Rifa'atul Mahmudah
"Udah bener belum?" Tanya lagi sebelum sempat kujawab yang pertama.
"G punya yah?!" Hadeuuhh...! Miring g sih?"
Tawaku pecah melihat gelagatnya yang sibuk sendiri.
"Sini..sini..!" Tanganku mulai menjamah kerudungnya, set set set.
Nah, saat itu, satu pelajaran kembali tersadari. Pentingnya sebuah cermin.
Ya, Cermin, dengan keberadaannya maka akan terlihatlah penampilan kita. Banyak celah diri yang bisa terkoreksi, kerudung yang miring, bedak yang ketebalan, wajah jerawatan, pakaian yang g macthing, rambut yang berantakan, bahkan maaf...kotoran mata yang nempel di sudut-sudut mata sekalipun dapat terdeteksi. Haha. Subhanallah..dengan bantuannya banyak hal menjadi lebih indah bukan?
Ngomong-ngomong soal cermin, saya selalu teringat dengan sebuah pengalaman super
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (١) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ (٢) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ (٣) إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ (٤)
(1) Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi bertasbih kepada Allah; dan Dialah Yang Mahaperkasa, lagi Mahabijaksana. (2) Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (3) (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (4) Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.
Malam itu, mata kami tertutup rapat dengan kain putih. Namun telingaku menangkap gemuruh suara dari berbagai penjuru. Keramaian yang menentramkan. Aku yakin duduk melingkar saling berhadapan dengan teman sekelompokku. Berpegangan tangan, saling membimbing satu sama lain.
"Ayo ulang lagi yuk! Bareng-bareng!" Seorang teman mengomando.
Ayat-ayat di atas terlantun berjamaah dari mulut kami. Senyumku terkembang, meski mungkin hanya aku yang tahu.
"Lagi...lagi..! Apa teh? 'indallaha yuhibbul...apa?" Kata seorang di sebelahku.
"Yuhibbul lazinaa..yuqootiluuna, fiisabiilihi, shooffa, kaannahum bunyaanan, marshosh.." Kueja perkata diikuti komat-kamitnya. Diulang lagi-diulang lagi. Hingga bisa sendiri, dia bersorak. Alhamduliillah.. ^_^
Malam itu, kami calon SSG atas perintah para pelatih harus menghafalkan 4 ayat di atas.
Maksudnya? Seingat saya malam itu, tak ada yang menjelaskan mengapa harus surah itu dan ayat yang itu. Tapi, justru, dengannya kami jadi mencari tahu sendiri, menyimpulkan sendiri, berpikir sendiri, menggali makna, hikmah sendiri-sendiri, personel.
Dan salah satunya, menimbulkan kesadaran akan perintah untuk sering-sering bercermin! Langsung dari Sang Maha Melihat, Maha Mengetahui, dalam ayatnya yang tiada cacat.
Nah lo, apa hubungannya dengan cermin?
Kau pernah dengar kalimat-kalimat ini?
"Nasihat itu ibarat melempar bola. Semakin kau lempar bola, semakin dashyat kembalinya kepada diri kita."
Maknanya, semakin banyak dan sering kita mengeluarkan nasihat kepada sesama, maka bersiaplah atas kembalinya nasihat itu kepada diri sendiri.
Dalam bukunya My Adventure My life, mas Ahmad Rifa'i Rif'an pernah bilang
"Saat kau menasihatkan kekuatan cinta, bersiaplah cintamu akan diuji. Saat kau menasihatkan kesabaran hidup, bersiaplah hidupmu bakal digempur masalah. Saat kau menasihatkan tentang penguatan iman, bersiaplah imanmu akan diterjang beragam goda."
See? Begitu dashyat pantulan bola yang sudah kita lemparkan. Nasihat yang sudah kita keluarkan.
Lain lagi sama saudara kita penulis super Bambang Achdiat dalam bukunya Find Your Best Teacher
Kurang lebih beliau memaparkan, bahwa mengapa para murid cenderung bosan dengan ritual ceramah si kepala sekolah saat upacara berlangsung? Salah satunya karena banyak di antara mereka hanya "omdo (omong doank)". Mereka hanya menyeru kepada murid untuk berlaku baik, jadi orang hebat, dan bla bla bla. Dengan mengikut sertakan contoh-contoh perilaku orang-orang teladan, lantas mereka sendiri? Tidak sama sekali melakukan apa yang mereka ucapkan. Mengapa tak berikan contoh melalui diri sendiri? Maka mungkin itu lebih merasuk, dapat diterima lebih cepat, tertransfer ke dalam hati dengan high speed.
Seiring dengan itu, Pak Solikhin Abu Izzuddin menulis "Nasihat itu seperti menarik busur panah. Semakin kuat tarikannya, semakin baik persiapannya, semakin jernih keikhlasannya, semakin kuatlah pengaruhnya ke dalam jiwa yang kita nasihati. Apa yang keluar dalam hati akan sampai ke hati. Apa yang keluar dari lisan hanya akan sampai ke telinga."
Nah, Begitulah pentingnya si cermin.
Tak takutkah kita akan ancaman ayat di atas? "Itu sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."
Talk less do more.
"Kalau begitu, ya udahlah, saya mau jadi pendiam aja! G mau ngomong lagi, nasihatin orang, takut dibenci ma Allah. Mending saya perbaiki dulu diri sendiri. Kalau udah bener, bolehlah saya share sama orang lain." Saya juga awalnya berpikir serupa, mengeluarkan kalimat ini.
Tapi, ini jadi lucu setelah dipikirkan lagi. Sampai kapan saya akan benar? Bukankah manusia tempatnya salah dan khilaf? Kalaupun akhirnya saya berhasil melakukan kebaikan, apakah kebaikan itu akan terus melingkupi diri saya? Sementara iman seseorang itu sudah jelas naik turun.
Siapa pula yang akan menasihatkan saya bila semua orang berpikir seperti ini? Semua orang memilih diam. Hening. Lantas, dimana eksistensi dan perwujudan perintah Allah di dalam QS. Al-Ashr tentang saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran? Habis? End disini?
Maka, justru inilah saat yang tepat untuk mengambil langkah dashyat, mengambil resiko kehidupan.
Dalam buku yang sama, Ahmad Rif'ai Rif'an kemudian melanjutkan paragraf yang tadi.
"Dulu, saya sangat takut dengan risiko menasihatkan kebaikan. Karena Allah seringkali menjadikan si penasihat sebagai pengamal pertama dari apa yang dinasihatkannya. Tapi kini, saya makin suka dengan hal itu. Karena bisa jadi dengan begitulah cara Tuhan meningkatkan kualitas hidup kita.
Dengan menasihatkan sesuatu pada orang lain, memaksa kita mengamalkan apa yang sudah kita nasihatkan. Karena agama sangat mengecam keras ucapan yang tidak sesuai dengan perbuatan."
Maka, masihkah kita takut untuk mengangkat suara, Berkata yang baik, Menyampaikan yang ma'ruf? Padahal ini bisa jadi kesempatan untuk kita agar terus melesat naik tingkat.
Tapi tentu, kembali lagi, sambil menasihatkan, sambil berbenah diri, itulah yang seharusnya dilakukan.
Terus baik dan membaikkan.
Sering-seringlah bawa CERMIN! Dan berikan pula kesempatan kepada yang lain untuk menggunakannya.
Mari terus memperbaiki diri bersama... Semangaaat!!!
Oleh Rifa'atul Mahmudah
bgus teh
BalasHapushatur nuhun teh, sering2 mampir yah. hee..
BalasHapus