Jumat, 16 Mei 2014

Aduhai…lurus, hitam, dan tebal! Rambutnya persis punya artis-artis iklan sampo yang sering berlaga di layar kaca. Dipadukan dengan wajahnya yang putih, bersih, berhias hidung yang mancung, khas sekali mojang bandung yang geulis.

Kali ini, pertama aku melihatnya. Dia mencuri perhatianku sejak pertama muncul dari arah tangga dekat posisi dudukku. Buku yang kubaca tak lebih menarik dari pemandangan ini. Ah, seperti biasa, sesuatu yang unik memang cepat sekali mengundang perhatian, pun bagiku yang sesama wanita.

Kuperhatikan setiap gerak-geriknya. Andaikan dia tahu, mungkin akan salah tingkah, malu, atau bisa jadi marah, lalu bilang “Apa lihat-lihat? Ada yang aneh?” Tapi, dugaanku hanya dugaan semata, karena kenyataannya tak sedikit pun dia melihat ke arahku, malah mungkin tak sadar akan keberadaanku di sini, dalam mesjid, bersandar pada dinding di sudut lantai 2, yang berjarak hanya beberapa centi darinya. Tampaknya dia memang begitu khusyu’ membolak-balikkan mukena yang dipinjamnya dari lantai bawah, bertuliskan "inventaris mesjid", lalu sibuk juga mematchingkan letak sesuai wajah cantiknya.

Sebenarnya sih, kalau dipikir-pikir, tak ada yang aneh dari si dia. Ini hal biasa, karena pesantren ini, terkhusus mesjid, memang dirancang sedemikian rupa agar semua orang, siapa saja, dan bagaimana pun penampilannya, boleh bertandang dan shalat di sini, juga boleh belajar tentang Islam mulai dari awal. Teringat cerita seorang teman yang waktu itu mabit, saat ingin merebahkan tubuh usai Tahajjud, suara seseorang membuatnya merinding, pasalnya konon orang itu ngobrol sendiri, terlihat asyik sekali, kadang cekikian tanpa alasan, dugaanya sih orang ini kehilangan kewarasan. Nah, yang model gitu saja bisa masuk ke sini, apalagi makhluk indah seperti wanita di depanku.

Pesantren ini memang tidak seperti pesantren-pesantren lainnya di beberapa kota, yang hidupnya terpisah dari dunia luar. Ia-nya seperti istana berbenteng tinggi yang tak terjamah oleh para rakyat. Kehidupan di dalam yang berjalan sendiri, yang mungkin tak seirama dengan kehidupan penduduk sekitar, kontras. Nah, itulah mengapa bagiku tempat ini sungguh spesial, luar biasa. Dan sepertinya banyak orang yang beranggapan sama, sehingga di sini tak pernah sepi akan jama’ah.

Wanita di hadapanku memulai shalatnya. Kulirik jam, bukankah sebentar lagi Ashar? Lantas dia shalat Dzuhur, bukan? Sibuklah hatiku kembali dengan ritualnya, berbicara antara sisi satu dengan yang lain, sering kusebut si kanan dan si kiri, entah mengapa mereka selalu bersebrangan, yang pada akhirnya salah satunya harus mengalah. Entah mengapa juga aku harus sibuk memikirkan wanita di hadapanku. Sungguh aku tak mengerti. Mungkinkah ini penyakit? KEPO, istilah jaman sekarang? Alaaahhh...! Tak kumengerti. Tapi, semoga bukan mudharat yang didatangkannya.

“Wuiiihhh…lihat g tadi rambutnya?? Indah sekali! Tapi, bagaimana bisa wanita secantik dia, semenawan dia, rela membiarkan helaian-heaian rambutnya jadi santapan mata-mata liar pria? Sisi yang satu memulai percakapan.
“Ya, mungkin saja dia belum ngerti, belum belajar, atau mungkin tak pernah ada yang memberi tahu.” Sisi yang lain angkat suara, disambut tawa oleh sisi pertama.
“Hahaha…tidak mungkin! Lihatlah, dimana sekarang kau dan dia berada! Tempat apa ini? Bila ia tak pernah mendengar seruan perintah Ilahi itu, berarti dia telah tuli!”
Sisi kedua seperti biasa, tetap positif, “Hmm…mungkin dia hanya orang lewat saja, tak pernah benar-benar datang untuk mendengarkan petuah-petuah bijak di tempat ini…atau…” Belum sempat melanjutkan kata-kata, yang pertama memotong.
“Itu dia! Kenapa? Berarti dia yang tak punya keinginan bukan? Betapa banyak orang yang rela menghabiskan waktu untuk ke tempat perbelanjaan, rela mendengar keributan tawar-menawar, menghabiskan uang dan tenaga, tetapi merasa tak punya waktu ke tempat seperti ini, yang padahal hanya duduk, dengar, dan justru mendapat keuntungan, dia mungkin salah satunya, lihat penampilannya!”
Astagfirullah…jangan su’udzon begitu! Kau tahu kan, ini yang namanya hidayah. Tidak semua orang bisa dapat dengan mudahnya. Lingkungan, teman, dan kondisi kita berbeda-beda.” Si kanan mengingatkan.
Si kiri berargumen lagi, “Ya ya ya…tapi bukankah kita punya potensi untuk mencari lingkungan, teman, dan kondisi yang mendukung ke arah sana. Bukankah kita harus berusaha menjemput hidayah itu? Apalagi sudah ada wadah seperti tempat ini, tinggal kita masuki saja bukan?”
“Haha…” giliran si kanan yang tertawa. “Kau ini lucu sekali, emang dulu, kamu langsung ke sini pas tahu ada pesantren? Langsung menggebu-gebu ingin nimba ilmu disini? G kan? Malah waktu sering diajakin tiap ahad untuk sekedar dengar kajian muslimah, kamunya ogah-ogahan, malas-malasan, ingat g?”
“Hee…ingat…ingat…” sudut yang satu mulai malu-malu. Menerawang ingatan.
“Nah, ingat juga g kenapa akhirnya sampai kamu g ogah-ogahan lagi, malah pantang berhenti sebelum dapat banyak ilmu, ngangenin tempat ini terus? Itu karena ada orang-orang tertentu, yang tidak bosan-bosannya, ngasih tahu, ngajakin. Sekarang kau bagaimana? Mana kontribusimu? Ajakin donk!”
“Yaelaaaahhh…malu ih, g kenal gini. Entar malah disebut orang aneh.”
“Haha…tuh kan, kamu lucu, malu dibilang aneh karena ngajakin kebaikan tapi g merasa aneh su’udzon sama orang mulu”
“Hmmm…trus, harus gimana?”
“Aneh itu kalau kamu tiba-tiba langsung nyeramahin tentang kewajiban berhijab, dan sebagainya. Makanya, duduk dekat-dekat dulu sana! Terus basa-basi bertanya ini dan itu, kenalan dulu lah! PDKT, hehe..
“Hmmm…malu g yah?”
“Alah! Sudahlah, kebanyakan mikir kadang kala bikin kita nol besar!”

Kulangkahkan kakiku mendekat. Terlambat! Wanita itu akhirnya sudah mengambil ancang-ancang untuk beranjak.
Konyolnya, hanya ini yang bisa kukatakan.
“Ukhti...tunggu!”
“Iya, ada apa yah teh?” Dia membalikkan badan. Menatapku tak mengerti.
“Itu teh, rambutnya.”
“Ada apa dengan rambut saya?” Dikibaskannya rambut indah itu, best…100% mirip si artis sampo.
“Ra…ram...butnya, kelihatan!” Terbata-bata akhirnya kukeluarkan juga kata-kata yang tak kuduga itu.
“Hah??!! Maksudnya?” Dahinya mengerut, alis kiri dan kanannya hampir menyatu.
“G teh, punten, tadi ngelihat teteh cantik banget pake mukena shalat, jadi pas dibuka saya merasa sayang sekali. Tadi udah keren teh, pake hijab, lebih ayu (kuacungkan jempol, refleks). Rambutnya kasihan kan kalau kebuka gini, bisa kena sinar matahari, debu dan sebagainya, padahal indahnya bukan main, Subhanallah. Ya udah, permisi yah teh! Maaf sebelumnya.” Lalu kuambil jurus langkah seribu, seakan tengah memburu sesuatu, terlambat datang ke sebuah janji. Padahal dalam hati dag, dig, dug, tak bisa membayangkan wajah si wanita tadi. Berusaha tak menengok, membiarkan rasa penasaran atas responnya setelah kata-kata itu keluar, mungkin dia syok, mematung, heran, atau berbagai ekspresi tidak terima, tapi mudah-mudahan dia jadi berpikir tentang kebenaran yang kukatakan.

“Haha…bagus…bagus..! Singkat, padat, dan mengena tuh kata-katamu!” Sisi kanan berbangga.
“Aduh, tapi bukankah itu terlalu vulgar? Pasti sekarang dia mengira aku orang aneh, memang aneh sekali sih!” Si kiri minder.
“Ya sudahlah, jangan dipikirin, sudah lewat juga, toh kamu g kenal ini sama orang itu, ya kan?” Sisi kanan cuek aja.
“Lagipula mending jadi orang aneh, dari pada tak angkat bicara sama sekali. Membiarkan saudara kita merasakan panasnya api neraka, bukankah kita satu tubuh? Maka memang harus saling mengingatkan kan?”
“Ya..ya…mungkin…ayo…berdo’a yuk! Biar ini benar-benar jadi jalan untuk saudara-saudara seperti wanita tadi, untuk kemudian terbuka pintu hatinya, mengena, terngiang-ngiang terus.” Si kiri menimpali.

“Aamiin…”



Oleh Rifa'atul Mahmudah
Posted by Unknown On 05.44 No comments

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube