Teman-teman
mungkin sudah banyak cerita tentang diklat kita. Saya ingin berbagi cerita
mengenai pengalaman saya menjadi pelatih SSG 27.
Semua dimulai dari percakapan saya dengan Atik Purwasih
yang mengajak saya untuk menjadi pelatih. Waktu itu tanggal 5 Januari 2014,
ketika kita semua sedang berada di Eco Pesantren menerima sorban dari guru kita
Aa Gym. Kita berdiskusi tentang pembentukan pengurus SSG 26. Dan di kesempatan
itu, abah dan eyang kembali mendata siapa-siapa yang ingin ikut dalam corps
pelatih dan berlatih lagi di diktuktih. Saya yang sudah memikirkan ini sejak
pasca pelantikan SSG 26. Satu hal yang mengganjal saya untuk ikut diktuktih
ialah tidak makan seminggu di hutan alias survival di hutan. Tapi ketika
berbincang dengan Atik yang juga akrab dengan salah satu pelatih kita bilang
kalo tidak akan ada survival di hutan selama seminggu itu. Itu untuk satgana. Saya lega.
Dan saya langsung bergabung dengan kumpulan teman-teman yang akan bergabung di
diktuktih. Semula saya ingin ikut salih tapi berubah pikiran akhirnya ikut jadi pelatih.
Diklat lanjutan diktuktih dimulai
sejak tanggal 11 Januari 2014. Pertama awalnya aneh ikut diktuktih: 1) barisan
yang biasanya panjang sekarang sepi hanya beberapa orang saja; 2) pelatih ada
yang ikut diklat diktuktih, rada aneh jadi peserta bareng-bareng sama pelatih
kita dulu; 3) hari sabtu biasanya kan pake PDH, pas di diktuktih pake PDL. Di
sini saya belajar banyak yang saya rasa tidak kita dapatkan di diklat SSG 26.
Mungkin karena banyaknya muatan materi yang kita dapatkan ketika diklat tidak
sebanding dengan waktu belajar kita yang hanya 11 pekan. Nah hal yang tidak ada
itulah yang akan saya sharing di sini...
Bermula pada diklat diktuktih pekan 2.
Sabtu malam kami diminta mengisi angket terbuka yang isinya: 1) Tuliskan
kekurangan dan kelebihan pelatih; 2) kekurangan orang tua. Kami sempat
berdiskusi mengenai angket ini. Pertanyaan yang rada aneh, kenapa mau tau
kekurangan orang tua kami. Ada perasaan was-was dalam pikiran kenapa pelatih
minta disebutkan kekurangan dan kelebihan. Apakah mereka mau minta saran
ataukah… ah entahlah. Dan kami pun sibuk sendiri-sendiri memikirkan apa yang
akan kami tulis. Lalu kami jalan malam ke Eco Pesantren simulai sekitar pukul 1
malam dan harus sampai di sana pukul 2. Paginya, kami diminta mengumpulkan
kertas jawaban atas pertanyaan yang semalam diberikan pelatihya. Selang
beberapa waktu, kami “disidang” karena berani sekali menuliskan kekurangan
orang tua dan pelatih. Dan disinilah kami belajar ta’lim muta’alim, sikap
khidmat kepada guru (pelatih juga guru), sikap menghormati orang tua dengan
segala kekurangannya. Kami diiqob berendem di kolam Eco yang super duper
dingin. Disuruh nyelup sampai beberapa hitungan dan yang paling lama nyelupin
kepalanya di kolam yang boleh duluan keluar kolam. Ini pelajaran yang sangat
penting bagi kita yang sudah belajar di bangku sekolah bahwa menghormati
kekurangan orang tua dan guru itu amatlah penting. Bahkan abah menceritakan seorang imam besar
Islam yang masih dengan antusiasnya menyimak pelajaran dari gurunya walaupun
gurunya sudah berulang kali menjelaskan mengenai hal itu. Saya merasa terpukul
karena mengingatkan saya kepada kenangan ketika berada di sekolah. Begitu
bandel dan tidak hormatnya kepada guru. Bahkan sepertinya hal itu balik ke saya
karena sekarang saya menjadi guru dan merasakan bagaimana tidak enaknya ketika
ada siswa yang tidak menghormati walau penghormatan dari makhluk mah ga
penting. Tapi,
di sisi lain kita akan belajar bahwa perlakukanlah kebaikan kepada orang lain sebagaimana
kita pun ingin diperlakukan seperti itu.
Pengalaman
lain yang ingin saya bagi ialah pengalaman mengangkat gallon dan membawa beberapa
tas berat yang dipanggul dengan menggunakan bamboo.
Ini pengalaman yang tak terlupakan sepanjang sejarah diktuktih hhee…
Selepas
materi malam, kami bukannya istirahat tetapi disuruh jalan malam ke Eco. Ketika
itu sekitar pukul 10.30 malam. Ketika briefing
hari kamis kami memang sudah diberitahu akan ke Eco. Akhwat membawakan tas
ikhwan sedangkan ikhwan membawa tenda pleton. Yang tidak terpikir ialah membawa
gallon. Pertama yang membawa gallon adalah saya. Ketika masih berbaris di
lapangan futsal, saya sudah merasakan beratnya isi gallon yang diisi penuh
dengan air. “Kenapa
belum berangkat?” Pikir
saya yang sudah merasa berat menahan berat gallon di tangan saya. Dan benar
saja, ketika baru berjalan di depan toko-toko dekat loket karcis parkir DT,
tangan saya sudah tidak kuat membawa gallon. Kemudian digantikan oleh seorang
peserta lain (saya lupa). Kemudian saya gantian memanggul beberapa tas berdua
dengan bamboo bersama satu teman lagi. Jumlah akhwat memang ganjil, sehingga
satu orang membawa gallon, dan sisanya berpasangan memanggul tas ikhwan yang
isinya entahlah apa, berat semua… Kalian tahu, saya kira kami tidak akan bisa
sampai ke Eco karena kami keseringan berhenti, beban yang dibawa terlalu berat
dan tahulah ya jalan ke Eco itu menanjak. Emosi diaduk-aduk pula oleh pelatih.
Dalam keadaan letih pun kami masih dibentak. Namun begitu, pelatih juga baik
kok, kami dikasih air minum dan permen biar kuat. Satu tikungan lagi, pikirku.
Ya, karena sudah hafal rute ke Eco, jadi sudah tau tinggal satu tikungan lagi
untuk sampai ke Eco. Lalu tiba-tiba
abah memutar rute. Kami melewati jalan yang lurus yang rutenya
lebih jauh. Sempet nanya dalam hati kok lama banget nyampenya. Pengen stop,
istirahat lagi.
Sesampai
di Eco, kami bagi tugas. Ada yang menjaga tas di lapangan atas, ada yang
istirahat di masjid. Perjalanan malam yang melelahkan. Paginya kami masak
seperti kita masak pas pelantikan pake nesting. Tapi sayangnya kami lupa bawa
beras.. Jadilah kami vegetarian walau pada akhirnya pelatih memberi kami nasi
karena tahu kalau beras kami ketinggalan di mako.
Hikmah
selama perjalanan yang membawa beban berat itu ialah emosi kami dilatih untuk
tetap tenang walaupun ada bentakan dari luar tapi kestabilan emosi dan sabar
harus tetap terjaga. Pantang kotor hati. Namun di sini juga terlihat keegoisan
masing-masing dari kami. Kami sudah berusaha untuk bergantian membawa gallon
dan tas tapi dari kami juga ada yang memang tidak kuat untuk terlalu lama
membawa beban berat tapi semuanya bahu membahu menguatkan dan tidak saling
menyalahkan. Lagi-lagi keegoisan menjadi kotoran hati. Penyakit inilah yang
ingin dikikis dari pelatihan ini. Mungkin kita juga sudah mengalami hal ini
ketika longmarch ketika pelantikan. Dan teman-teman pasti bisa merasakan
sendiri bagaimana ketika perjalanan jauh dengan beban yang berat dapat
menunjukkan sifat asli seseorang.
Selanjutnya
ketika pelantikan.
Beberapa
hari sebelum berangkat ke Bukit Unggul pada hari jumat, kami sudah sibuk
mencari barang2 yang digunakan untuk camping. Malam ketika kajian ma’rifatullah
pun kami masih riewuh packing. Hingga tibalah esoknya hari jumat kami berangkat
ke Bukit Unggul. Medan longmarch ke sana tidak terlalu jauh seperti ke Cijanggel.
Kami pun ketika longmarch disuguhkan dengan pemandangan bukit2, sama seperti
ketika ke Gunung Papandayan. Replica Bukit Unggul banget.. Akhirnya kami pun
masuk hutan dan berhenti di dekat sungai untuk wudhu. Lalu melanjutkan
perjalanan kembali. Hingga tiba di sana kami sholat, makan siang, dan
mendapatkan materi survival yakni membuat bivoac alam dengan menggunakan
tanaman-tanaman yang ada di hutan. Hutan di Bukit Unggul masih alami, tidak seperti di
Cijanggel yang memang sengaja ditanam oleh pihak perhutani. Seusai mendapatkan
materi tersebut, kami langsung praktek membuat bivoac alam perkelompok. Ketika
malam tiba, kami mendengar banyaknya suara panitia. Esok paginya kami biasalah
ya kalo pelantikan tanpa nasi rames mah bukan pelantikan namanya hhee… Seusai
makan, kata panitia itu adalah nasi terakhir kami, setelah ini kami akan
menjadi vegetarian. Kami mendapat materi survival: mencari makan di hutan. Kami
belajar banyak tanaman yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan serta
cara pengolahannya. Malamnya kami solo bivoac. Solo bivoac kali ini lebih
enakeun dibanding pas pelantikan kita karena sudah bisa buat bivoac yang bisa
menahan air hujan masuk serta digabung dengan beberapa daun pisang untuk
menutupi bagian ponco yang disinyalir akan kemasukan air kalau hujan. Hampir
seharian tidak makan nasi membuatku puyeng dan ketika solo bivoac pun saya ga
selera makan pelepah pisang yang sudah saya rebus.
Paginya
kami segera disuruh bongkar bivoac dan berbaris di “lapangan”. Kami yang hampir
24 jam tidak “ketemu”, nasi pun diberikan bubur sereal oleh panitia. Seusai
makan, kami “disidang” tentang ghibah, khususnya ghibah kepada pelatih.
Terjadilah lautan air mata di sana, hhee #lebay. Ditanya apa motivasi jadi
pelatih dan kami dihadapkan dengan amanah lebih dari 300 peserta yang mendaftar
di angkatan 27 ini. Kami disidang secara terbuka dan diminta menyebutkan
hal-hal yang sering kami ghibahi kepada pelatih. Nasihat abah kala itu ialah: ga peduli apa yg dilakukan oleh
orang lain, yang penting hati kita. Akan saya perjelas, maksudnya ialah
ketika kita mendengarkan seseorang menasehati kita untuk melakukan kebaikan
ataupun melarang kita melakukan suatu
keburukan tetapi pada kenyataan di lapangan kita melihat orang yang menasehati
kita itu tidak melakukan kebaikan seperti yang ia anjurkan ataupun ia malah
melakukan keburukan yang sudah ia larang maka janganlah terbersit di hati kita
kotoran hati dengan mengatakan “lho kok
gitu? Bukannya dia sendiri yang ngelarang kok malah dia yang ngelakuian”
ataupun perkataan “bukannya dia yang
nganjurin tapi dia sendiri ga ngelakuin” . Yang terpenting kita menuruti
nasehatnya, masalah orang tersebut mah urusan dia ke Allah karena Allah
Berfirman dalam Surah As-Saff: 2-3 “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa
kamu mengatakan apa-apa sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (itu) sangat dibenci
di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Hal terbaik yang bisa kita berikan ke orang
itu ialah mengingatkannya agar mengerjakan apa-apa yang telah ia katakan, bukan
dengan mengghibahinya…!!!
Dalam
kehidupan kita akan ada banyak orang-orang yang menasehati tapi ia tidak
mengerjakan apa yang ia nasehatkan, ia melanggar apa yang ia larang. Ketika
jadi pelatih, inilah yang kami rasakan. Ketika menyuruh peserta dzikir maka
kami terlebih dahulu haruslah berdzikir. Menyuruh peserta pantang mengeluh maka
kami pun tidak boleh mengeluh dengan tugas kami sebagai pelatih. Bahkan
mengingatkan peserta untuk jaga pandangan pun kami masih harus banyak
introspeksi diri sebelum mengingatkan akan hal itu. Manusia banyak sekali
tergelincir dengan godaan syaithan yang ingin menjadikan umat manusia lupa
dengan nasehat-nasehat yang ia berikan. Bagaimanapun manusia bukan malaikat,
masih ada banyak hal yang harus ditaubati dan tugas kita harus saling
mengingatkan ketika ada teman yang tergelincir ataupun ada tanda-tanda akan
futur iman makan harus segera diajak kembali ke jalan Allah. Saling
menyemangati dalam beribadah serta tak lupa saling mendoakan satu sama lain.
Inilah
sepenggal kisah yang dapat saya ceritakan selama saya ikut dalam diklat
lanjutan diktuktih I. Semoga di lain waktu bisa menceritakan pengalaman ketika
menjadi pelatih di SSG 27 yang lalu J
Oleh : Miftha Indasari
0 komentar:
Posting Komentar