Jumat, 15 Agustus 2014


Teman-teman mungkin sudah banyak cerita tentang diklat kita. Saya ingin berbagi cerita mengenai pengalaman saya menjadi pelatih SSG 27.

Semua dimulai dari percakapan saya dengan Atik Purwasih yang mengajak saya untuk menjadi pelatih. Waktu itu tanggal 5 Januari 2014, ketika kita semua sedang berada di Eco Pesantren menerima sorban dari guru kita Aa Gym. Kita berdiskusi tentang pembentukan pengurus SSG 26. Dan di kesempatan itu, abah dan eyang kembali mendata siapa-siapa yang ingin ikut dalam corps pelatih dan berlatih lagi di diktuktih. Saya yang sudah memikirkan ini sejak pasca pelantikan SSG 26. Satu hal yang mengganjal saya untuk ikut diktuktih ialah tidak makan seminggu di hutan alias survival di hutan. Tapi ketika berbincang dengan Atik yang juga akrab dengan salah satu pelatih kita bilang kalo tidak akan ada survival di hutan selama seminggu itu. Itu untuk satgana. Saya lega. Dan saya langsung bergabung dengan kumpulan teman-teman yang akan bergabung di diktuktih. Semula saya ingin ikut salih tapi berubah pikiran akhirnya ikut jadi pelatih.

Diklat lanjutan diktuktih dimulai sejak tanggal 11 Januari 2014. Pertama awalnya aneh ikut diktuktih: 1) barisan yang biasanya panjang sekarang sepi hanya beberapa orang saja; 2) pelatih ada yang ikut diklat diktuktih, rada aneh jadi peserta bareng-bareng sama pelatih kita dulu; 3) hari sabtu biasanya kan pake PDH, pas di diktuktih pake PDL. Di sini saya belajar banyak yang saya rasa tidak kita dapatkan di diklat SSG 26. Mungkin karena banyaknya muatan materi yang kita dapatkan ketika diklat tidak sebanding dengan waktu belajar kita yang hanya 11 pekan. Nah hal yang tidak ada itulah yang akan saya sharing di sini...

Bermula pada diklat diktuktih pekan 2. Sabtu malam kami diminta mengisi angket terbuka yang isinya: 1) Tuliskan kekurangan dan kelebihan pelatih; 2) kekurangan orang tua. Kami sempat berdiskusi mengenai angket ini. Pertanyaan yang rada aneh, kenapa mau tau kekurangan orang tua kami. Ada perasaan was-was dalam pikiran kenapa pelatih minta disebutkan kekurangan dan kelebihan. Apakah mereka mau minta saran ataukah… ah entahlah. Dan kami pun sibuk sendiri-sendiri memikirkan apa yang akan kami tulis. Lalu kami jalan malam ke Eco Pesantren simulai sekitar pukul 1 malam dan harus sampai di sana pukul 2. Paginya, kami diminta mengumpulkan kertas jawaban atas pertanyaan yang semalam diberikan pelatihya. Selang beberapa waktu, kami “disidang” karena berani sekali menuliskan kekurangan orang tua dan pelatih. Dan disinilah kami belajar ta’lim muta’alim, sikap khidmat kepada guru (pelatih juga guru), sikap menghormati orang tua dengan segala kekurangannya. Kami diiqob berendem di kolam Eco yang super duper dingin. Disuruh nyelup sampai beberapa hitungan dan yang paling lama nyelupin kepalanya di kolam yang boleh duluan keluar kolam. Ini pelajaran yang sangat penting bagi kita yang sudah belajar di bangku sekolah bahwa menghormati kekurangan orang tua dan guru itu amatlah penting.  Bahkan abah menceritakan seorang imam besar Islam yang masih dengan antusiasnya menyimak pelajaran dari gurunya walaupun gurunya sudah berulang kali menjelaskan mengenai hal itu. Saya merasa terpukul karena mengingatkan saya kepada kenangan ketika berada di sekolah. Begitu bandel dan tidak hormatnya kepada guru. Bahkan sepertinya hal itu balik ke saya karena sekarang saya menjadi guru dan merasakan bagaimana tidak enaknya ketika ada siswa yang tidak menghormati walau penghormatan dari makhluk mah ga penting. Tapi, di sisi lain kita akan belajar bahwa perlakukanlah kebaikan kepada orang lain sebagaimana kita pun ingin diperlakukan seperti itu.

Pengalaman lain yang ingin saya bagi ialah pengalaman mengangkat gallon dan membawa beberapa tas berat yang dipanggul dengan menggunakan bamboo. Ini pengalaman yang tak terlupakan sepanjang sejarah diktuktih hhee…

Selepas materi malam, kami bukannya istirahat tetapi disuruh jalan malam ke Eco. Ketika itu sekitar pukul 10.30 malam. Ketika briefing hari kamis kami memang sudah diberitahu akan ke Eco. Akhwat membawakan tas ikhwan sedangkan ikhwan membawa tenda pleton. Yang tidak terpikir ialah membawa gallon. Pertama yang membawa gallon adalah saya. Ketika masih berbaris di lapangan futsal, saya sudah merasakan beratnya isi gallon yang diisi penuh dengan air. Kenapa belum berangkat?” Pikir saya yang sudah merasa berat menahan berat gallon di tangan saya. Dan benar saja, ketika baru berjalan di depan toko-toko dekat loket karcis parkir DT, tangan saya sudah tidak kuat membawa gallon. Kemudian digantikan oleh seorang peserta lain (saya lupa). Kemudian saya gantian memanggul beberapa tas berdua dengan bamboo bersama satu teman lagi. Jumlah akhwat memang ganjil, sehingga satu orang membawa gallon, dan sisanya berpasangan memanggul tas ikhwan yang isinya entahlah apa, berat semua… Kalian tahu, saya kira kami tidak akan bisa sampai ke Eco karena kami keseringan berhenti, beban yang dibawa terlalu berat dan tahulah ya jalan ke Eco itu menanjak. Emosi diaduk-aduk pula oleh pelatih. Dalam keadaan letih pun kami masih dibentak. Namun begitu, pelatih juga baik kok, kami dikasih air minum dan permen biar kuat. Satu tikungan lagi, pikirku. Ya, karena sudah hafal rute ke Eco, jadi sudah tau tinggal satu tikungan lagi untuk sampai ke Eco. Lalu tiba-tiba abah memutar rute. Kami melewati jalan yang lurus yang rutenya lebih jauh. Sempet nanya dalam hati kok lama banget nyampenya. Pengen stop, istirahat lagi.

Sesampai di Eco, kami bagi tugas. Ada yang menjaga tas di lapangan atas, ada yang istirahat di masjid. Perjalanan malam yang melelahkan. Paginya kami masak seperti kita masak pas pelantikan pake nesting. Tapi sayangnya kami lupa bawa beras.. Jadilah kami vegetarian walau pada akhirnya pelatih memberi kami nasi karena tahu kalau beras kami ketinggalan di mako.

Hikmah selama perjalanan yang membawa beban berat itu ialah emosi kami dilatih untuk tetap tenang walaupun ada bentakan dari luar tapi kestabilan emosi dan sabar harus tetap terjaga. Pantang kotor hati. Namun di sini juga terlihat keegoisan masing-masing dari kami. Kami sudah berusaha untuk bergantian membawa gallon dan tas tapi dari kami juga ada yang memang tidak kuat untuk terlalu lama membawa beban berat tapi semuanya bahu membahu menguatkan dan tidak saling menyalahkan. Lagi-lagi keegoisan menjadi kotoran hati. Penyakit inilah yang ingin dikikis dari pelatihan ini. Mungkin kita juga sudah mengalami hal ini ketika longmarch ketika pelantikan. Dan teman-teman pasti bisa merasakan sendiri bagaimana ketika perjalanan jauh dengan beban yang berat dapat menunjukkan sifat asli seseorang.

Selanjutnya ketika pelantikan.
Beberapa hari sebelum berangkat ke Bukit Unggul pada hari jumat, kami sudah sibuk mencari barang2 yang digunakan untuk camping. Malam ketika kajian ma’rifatullah pun kami masih riewuh packing. Hingga tibalah esoknya hari jumat kami berangkat ke Bukit Unggul. Medan longmarch ke sana tidak terlalu jauh seperti ke Cijanggel. Kami pun ketika longmarch disuguhkan dengan pemandangan bukit2, sama seperti ketika ke Gunung Papandayan. Replica Bukit Unggul banget.. Akhirnya kami pun masuk hutan dan berhenti di dekat sungai untuk wudhu. Lalu melanjutkan perjalanan kembali. Hingga tiba di sana kami sholat, makan siang, dan mendapatkan materi survival yakni membuat bivoac alam dengan menggunakan tanaman-tanaman yang ada di hutan. Hutan di Bukit Unggul masih alami, tidak seperti di Cijanggel yang memang sengaja ditanam oleh pihak perhutani. Seusai mendapatkan materi tersebut, kami langsung praktek membuat bivoac alam perkelompok. Ketika malam tiba, kami mendengar banyaknya suara panitia. Esok paginya kami biasalah ya kalo pelantikan tanpa nasi rames mah bukan pelantikan namanya hhee… Seusai makan, kata panitia itu adalah nasi terakhir kami, setelah ini kami akan menjadi vegetarian. Kami mendapat materi survival: mencari makan di hutan. Kami belajar banyak tanaman yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan serta cara pengolahannya. Malamnya kami solo bivoac. Solo bivoac kali ini lebih enakeun dibanding pas pelantikan kita karena sudah bisa buat bivoac yang bisa menahan air hujan masuk serta digabung dengan beberapa daun pisang untuk menutupi bagian ponco yang disinyalir akan kemasukan air kalau hujan. Hampir seharian tidak makan nasi membuatku puyeng dan ketika solo bivoac pun saya ga selera makan pelepah pisang yang sudah saya rebus.

Paginya kami segera disuruh bongkar bivoac dan berbaris di “lapangan”. Kami yang hampir 24 jam tidak “ketemu”, nasi pun diberikan bubur sereal oleh panitia. Seusai makan, kami “disidang” tentang ghibah, khususnya ghibah kepada pelatih. Terjadilah lautan air mata di sana, hhee #lebay. Ditanya apa motivasi jadi pelatih dan kami dihadapkan dengan amanah lebih dari 300 peserta yang mendaftar di angkatan 27 ini. Kami disidang secara terbuka dan diminta menyebutkan hal-hal yang sering kami ghibahi kepada pelatih. Nasihat abah kala  itu ialah: ga peduli apa yg dilakukan oleh orang lain, yang penting hati kita. Akan saya perjelas, maksudnya ialah ketika kita mendengarkan seseorang menasehati kita untuk melakukan kebaikan ataupun melarang kita  melakukan suatu keburukan tetapi pada kenyataan di lapangan kita melihat orang yang menasehati kita itu tidak melakukan kebaikan seperti yang ia anjurkan ataupun ia malah melakukan keburukan yang sudah ia larang maka janganlah terbersit di hati kita kotoran hati dengan mengatakan “lho kok gitu? Bukannya dia sendiri yang ngelarang kok malah dia yang ngelakuian” ataupun perkataan “bukannya dia yang nganjurin tapi dia sendiri ga ngelakuin” . Yang terpenting kita menuruti nasehatnya, masalah orang tersebut mah urusan dia ke Allah karena Allah Berfirman dalam Surah As-Saff: 2-3 “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa-apa sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (itu) sangat dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”  Hal terbaik yang bisa kita berikan ke orang itu ialah mengingatkannya agar mengerjakan apa-apa yang telah ia katakan, bukan dengan mengghibahinya…!!!

Dalam kehidupan kita akan ada banyak orang-orang yang menasehati tapi ia tidak mengerjakan apa yang ia nasehatkan, ia melanggar apa yang ia larang. Ketika jadi pelatih, inilah yang kami rasakan. Ketika menyuruh peserta dzikir maka kami terlebih dahulu haruslah berdzikir. Menyuruh peserta pantang mengeluh maka kami pun tidak boleh mengeluh dengan tugas kami sebagai pelatih. Bahkan mengingatkan peserta untuk jaga pandangan pun kami masih harus banyak introspeksi diri sebelum mengingatkan akan hal itu. Manusia banyak sekali tergelincir dengan godaan syaithan yang ingin menjadikan umat manusia lupa dengan nasehat-nasehat yang ia berikan. Bagaimanapun manusia bukan malaikat, masih ada banyak hal yang harus ditaubati dan tugas kita harus saling mengingatkan ketika ada teman yang tergelincir ataupun ada tanda-tanda akan futur iman makan harus segera diajak kembali ke jalan Allah. Saling menyemangati dalam beribadah serta tak lupa saling mendoakan satu sama lain.

Inilah sepenggal kisah yang dapat saya ceritakan selama saya ikut dalam diklat lanjutan diktuktih I. Semoga di lain waktu bisa menceritakan pengalaman ketika menjadi pelatih di SSG 27 yang lalu J


Oleh : Miftha Indasari
Posted by Unknown On 00.45 No comments

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube