"Kalian yang berada di sini pasti pada punya "masalah", jadi mau daftar SSG, haha...ya kan?" Kurang lebih demikian pertanyaan pelatih siang itu, yang lebih mirip pernyataan, tak perlu dijawab, dan serempak bikin kami peserta diklat saling berpandangan senyum-senyum seakan mengiyakan kebenarannya, pun denganku.
Coz, That's right! Cerita ini memang bermula dari masalah yang saya alami. Masalah pribadi, masalah saya dengan diri sendiri.
Boring, kusebut itu demikian. Suatu perasaan yang ngeganggu banget dalam kisahku. Yang bila ada cara ampuh untuk mengusirnya jauh-jauh ke kutub utara sana, tempat yang tak penah kusinggahi, maka segera saja kudepak, huusss...huuusss!!! Berharap ia tak pernah kembali.
Awal kuliah di tempat baru yang begitu santai, berasa di pantai sedang melambai-lambai menghadirkan rasa itu. Walau, kata dosen, teman dan sebangsanya, "Itu sih masih awal saja, nanti-nanti juga bakalan sibuk sampai g ada waktu buat yang lain." Tapi, beberapa minggu bagiku lama....sekali untuk kekosongan grasak-grusuk, bersibuk-sibuk. Hanya diam di kost-an membuatku merasa seperti makhluk tiada guna, walau mungkin memang hanya perasaan lebay saja.
Nulis, curhat lewat ketikan, dan kegiatan serupa pun seperti tak bernyawa lagi. Bagaimana tidak, bila aku hanya bercerita tentang aku saja. G asyik bangettss!! Hee..
Untuk mengusir rasa tak nyaman itu, sempat kulayangkan beberapa lamaran kerja. Tapi, karena dengan berbagai alasan, salah satunya yang entah beneran tidak sesuai dengan waktu kosong atau memang sengaja tidak disesuaikan saja, membuatku tidak merespon semuanya, saat akhirnya ada panggilan dari tempat ngelamar. Lucu memang, dan terkesan plin-plan. Tapi begitulah, entah mengapa selalu ada yang kurang sreg di hati, tak gembira dengan kabar itu, maka kutinggalkan. Bukankah hati harus senang terlebih dahulu untuk membuat hati orang lain senang? Jadi pikirku begitupun dengan kerjaan, berlapang hati itu penting, untuk menikmati hidup. Maka atas keputusan ini, berujunglah aku pada status "Mahasiswa Pengangguran", mahasiswa yang cuma kuliah doank.
Beberapa hari setelahnya, terus saja aku move on. Yang pada saat bersamaan teman-teman kuliah yang dulu mengabarkan berbagai kerjaan mereka kini, dan ya, mereka sudah mengangkasa tinggi meninggalkan bumi. Sedang aku masih bergelut dengan rasa penasaran dengan kegiatan tambahan yang bisa nempel, klop di hati.
Di bagian search-nya Mbah Google akhirnya kuketik "komunitas kemasyarakatan bandung", berharap kegiatan seperti inilah yang bikin hati semakin adem, selain tentunya jadwal bisa disesuikan dengan kuliah yang sering ngedadak. Ada beberapa jenis nama yang muncul. Ngebaca profilnya, dan setelah dicocok-cocokkan dengan jadwal kuliah, hati dan pikiran, maka terpilihalah 2 opsi: Sebuah komuitas yang bergerak di bidang ngajar anak-anak dan meningkatkan budaya baca, serta Santri Siap Guna Daarut Tauhid (SSG DT). Sayangnya, kedua kegiatan ini jadwalnya berbaregan, tiap Sabtu-Minggu. Akhirnya karena harus memilih, dengan berat hati, saya putuskan untuk vakum dulu di komunitas itu saat baru bergabung 3 pekan, memilih untuk fokus ke SSG. Sadis dan menganak tirikan mungkin, tapi itulah pilihan. Tak bisa kita mengambil banyak hal untuk dikerjakan bersamaan, bila merasa tak maksimal, dampaknya bisa lebih buruk daripada menegaskan untuk meninggalkan.
Dan aku pun tak mengerti pilihan semacam apa ini? Atas dasar apa? Hanya saja hatiku terasa lebih condong ke kegiatan yang tak tahu akan seperti apa, yang tak pernah kudengar ceritanya dari siapa pun ini.
Sabtu cerah ceria, pagi itu katanya masa pra diklat telah dimulai. Baru saja berbaris beberapa lama, telinga dan hati kami sudah dicokoli dengan kata-kata "Pantang Mengeluh!" Ketika tumit rasanya lunglai, gemeteran, g sanggup lagi untuk tegap berpijak. Lalu "Hadapi, Hayati, dan Nikmati", merupakan tantangan tersendiri yang di hidup biasanya tak sadar maupun sadar ingin lari dari kenyataan, mengganti hal-hal yang tidak kita senangi, pun kita tahu kalau itu baik. Belum lagi "Pantang Kotor Hati" yang aahhh...akankah aku bisa?
Seminggu setelahnya, masa diklat tiba. Baris-berbaris kembali membuatku keringat dingin, seperti waktu jaman sekolah dulu, aku memang tak tahan berdiri lama, seakan tubuh menjadi ringan, ingin jatuh terhempas saja ke bumi, nempel di lantai, tak sadarkan diri. Tapi, kata pelatih, Pantang Menyerah!" Maka kukuatkan diriku. Sok tegar, ngelihat yang lain bisa, aku tak mau kalah. Jadilah di tengah pelatih memberi arahan ini dan itu, aku malah sibuk berkutat dengan diri sendiri, membujuk segenap organ untuk menyadarkanku, memaksa kaki untuk berdiri tak lunglai, menarik napas panjang berkali-kali berharap perasaan ini segera lenyap, memperdengarkan hati, "Sebentar lagi, ayolaaahhh...! Hanya tinggal beberapa menit lagi! Pasti bisa!" Dan berujung pada usainya baris-berbaris itu. Alhamdulillah lega... ^_^
Namun, kisahku dengan si baris-berbaris tak hanya sampai di situ. Minggu-minggu berikutnya hal serupa terjadi. Sungguh tak nyaman, dan haii! Para peratih seakan tak melihat wajah-wajah gelisah, keringatan, dan pucat pasi kami, berdiri tetap memakan durasi yang panjang. Kami? Ya kami, karena ternyata bukan hanya aku yang lelah dengan ritual ini. Kegelisahan terlihat jelas dari gerakan-gerakan tambahan yang tercipta, plus wajah kusut peserta lain yang mengisyaratkan tanya, "Kapan ini berakhir?" Beberapa malah jatuh pingsan.
"Sikap duduk, mulai!" Ketika kalimat itu mengaung di antara barisan kami, sambutan "Alhamdulillah" yang harus kami ucapkan benar-benar kata syukur yang muncul dari dasar hati. Hmm..yang namanya perjuangan mungkin memang akan selalu begini, menyenangkan di akhirnya. Semakin terasa berat, maka ketika usai, nikmatnya semakin luar biasa. Ini sama persis saat sedang puasa, berbuka merupakan kenikmatan tiada tara.
Berlelah-lelah, berpegal-pegal, bercucuran keringat hanya merupakan proses untuk akhirnya dapat merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan, yang benar-benar full dari hati. Mungkin demikian yang ingin disampaikan para pelatih, pikirku. Maka rasa-rasanya, dari sinilah tunas-tunas cinta itu mulai tumbuh satu-satu. Membuatku semakin penasaran akan hikmah apa saja yang dapat diperoleh dari tempat ini, kegiatan beginian. Dan juga tak kalah ingin tahunya aku dengan orang-orang yang berada di sini, mengapa mereka lebih memilih ikut dalam kegiatan yang kata orang "Ngapain? Bikin cape' aja! Nyiksa diri!".
Oleh Rifa'atul Mahmudah
Coz, That's right! Cerita ini memang bermula dari masalah yang saya alami. Masalah pribadi, masalah saya dengan diri sendiri.
Boring, kusebut itu demikian. Suatu perasaan yang ngeganggu banget dalam kisahku. Yang bila ada cara ampuh untuk mengusirnya jauh-jauh ke kutub utara sana, tempat yang tak penah kusinggahi, maka segera saja kudepak, huusss...huuusss!!! Berharap ia tak pernah kembali.
Awal kuliah di tempat baru yang begitu santai, berasa di pantai sedang melambai-lambai menghadirkan rasa itu. Walau, kata dosen, teman dan sebangsanya, "Itu sih masih awal saja, nanti-nanti juga bakalan sibuk sampai g ada waktu buat yang lain." Tapi, beberapa minggu bagiku lama....sekali untuk kekosongan grasak-grusuk, bersibuk-sibuk. Hanya diam di kost-an membuatku merasa seperti makhluk tiada guna, walau mungkin memang hanya perasaan lebay saja.
Nulis, curhat lewat ketikan, dan kegiatan serupa pun seperti tak bernyawa lagi. Bagaimana tidak, bila aku hanya bercerita tentang aku saja. G asyik bangettss!! Hee..
Untuk mengusir rasa tak nyaman itu, sempat kulayangkan beberapa lamaran kerja. Tapi, karena dengan berbagai alasan, salah satunya yang entah beneran tidak sesuai dengan waktu kosong atau memang sengaja tidak disesuaikan saja, membuatku tidak merespon semuanya, saat akhirnya ada panggilan dari tempat ngelamar. Lucu memang, dan terkesan plin-plan. Tapi begitulah, entah mengapa selalu ada yang kurang sreg di hati, tak gembira dengan kabar itu, maka kutinggalkan. Bukankah hati harus senang terlebih dahulu untuk membuat hati orang lain senang? Jadi pikirku begitupun dengan kerjaan, berlapang hati itu penting, untuk menikmati hidup. Maka atas keputusan ini, berujunglah aku pada status "Mahasiswa Pengangguran", mahasiswa yang cuma kuliah doank.
Beberapa hari setelahnya, terus saja aku move on. Yang pada saat bersamaan teman-teman kuliah yang dulu mengabarkan berbagai kerjaan mereka kini, dan ya, mereka sudah mengangkasa tinggi meninggalkan bumi. Sedang aku masih bergelut dengan rasa penasaran dengan kegiatan tambahan yang bisa nempel, klop di hati.
Di bagian search-nya Mbah Google akhirnya kuketik "komunitas kemasyarakatan bandung", berharap kegiatan seperti inilah yang bikin hati semakin adem, selain tentunya jadwal bisa disesuikan dengan kuliah yang sering ngedadak. Ada beberapa jenis nama yang muncul. Ngebaca profilnya, dan setelah dicocok-cocokkan dengan jadwal kuliah, hati dan pikiran, maka terpilihalah 2 opsi: Sebuah komuitas yang bergerak di bidang ngajar anak-anak dan meningkatkan budaya baca, serta Santri Siap Guna Daarut Tauhid (SSG DT). Sayangnya, kedua kegiatan ini jadwalnya berbaregan, tiap Sabtu-Minggu. Akhirnya karena harus memilih, dengan berat hati, saya putuskan untuk vakum dulu di komunitas itu saat baru bergabung 3 pekan, memilih untuk fokus ke SSG. Sadis dan menganak tirikan mungkin, tapi itulah pilihan. Tak bisa kita mengambil banyak hal untuk dikerjakan bersamaan, bila merasa tak maksimal, dampaknya bisa lebih buruk daripada menegaskan untuk meninggalkan.
Dan aku pun tak mengerti pilihan semacam apa ini? Atas dasar apa? Hanya saja hatiku terasa lebih condong ke kegiatan yang tak tahu akan seperti apa, yang tak pernah kudengar ceritanya dari siapa pun ini.
Sabtu cerah ceria, pagi itu katanya masa pra diklat telah dimulai. Baru saja berbaris beberapa lama, telinga dan hati kami sudah dicokoli dengan kata-kata "Pantang Mengeluh!" Ketika tumit rasanya lunglai, gemeteran, g sanggup lagi untuk tegap berpijak. Lalu "Hadapi, Hayati, dan Nikmati", merupakan tantangan tersendiri yang di hidup biasanya tak sadar maupun sadar ingin lari dari kenyataan, mengganti hal-hal yang tidak kita senangi, pun kita tahu kalau itu baik. Belum lagi "Pantang Kotor Hati" yang aahhh...akankah aku bisa?
Seminggu setelahnya, masa diklat tiba. Baris-berbaris kembali membuatku keringat dingin, seperti waktu jaman sekolah dulu, aku memang tak tahan berdiri lama, seakan tubuh menjadi ringan, ingin jatuh terhempas saja ke bumi, nempel di lantai, tak sadarkan diri. Tapi, kata pelatih, Pantang Menyerah!" Maka kukuatkan diriku. Sok tegar, ngelihat yang lain bisa, aku tak mau kalah. Jadilah di tengah pelatih memberi arahan ini dan itu, aku malah sibuk berkutat dengan diri sendiri, membujuk segenap organ untuk menyadarkanku, memaksa kaki untuk berdiri tak lunglai, menarik napas panjang berkali-kali berharap perasaan ini segera lenyap, memperdengarkan hati, "Sebentar lagi, ayolaaahhh...! Hanya tinggal beberapa menit lagi! Pasti bisa!" Dan berujung pada usainya baris-berbaris itu. Alhamdulillah lega... ^_^
Namun, kisahku dengan si baris-berbaris tak hanya sampai di situ. Minggu-minggu berikutnya hal serupa terjadi. Sungguh tak nyaman, dan haii! Para peratih seakan tak melihat wajah-wajah gelisah, keringatan, dan pucat pasi kami, berdiri tetap memakan durasi yang panjang. Kami? Ya kami, karena ternyata bukan hanya aku yang lelah dengan ritual ini. Kegelisahan terlihat jelas dari gerakan-gerakan tambahan yang tercipta, plus wajah kusut peserta lain yang mengisyaratkan tanya, "Kapan ini berakhir?" Beberapa malah jatuh pingsan.
"Sikap duduk, mulai!" Ketika kalimat itu mengaung di antara barisan kami, sambutan "Alhamdulillah" yang harus kami ucapkan benar-benar kata syukur yang muncul dari dasar hati. Hmm..yang namanya perjuangan mungkin memang akan selalu begini, menyenangkan di akhirnya. Semakin terasa berat, maka ketika usai, nikmatnya semakin luar biasa. Ini sama persis saat sedang puasa, berbuka merupakan kenikmatan tiada tara.
Berlelah-lelah, berpegal-pegal, bercucuran keringat hanya merupakan proses untuk akhirnya dapat merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan, yang benar-benar full dari hati. Mungkin demikian yang ingin disampaikan para pelatih, pikirku. Maka rasa-rasanya, dari sinilah tunas-tunas cinta itu mulai tumbuh satu-satu. Membuatku semakin penasaran akan hikmah apa saja yang dapat diperoleh dari tempat ini, kegiatan beginian. Dan juga tak kalah ingin tahunya aku dengan orang-orang yang berada di sini, mengapa mereka lebih memilih ikut dalam kegiatan yang kata orang "Ngapain? Bikin cape' aja! Nyiksa diri!".
Oleh Rifa'atul Mahmudah
allohu akbar
BalasHapusAllahuakbar!!!! :D
BalasHapus