Pagi itu seorang perempuan paruh baya terpekur di halte bus yang reyot. Gurat kecemasan terukir jelas di wajahnya yang kusut. Ia menyandarkan tubuhnya yang terlihat ringkih itu pada tiang yang ada di sisi kiri halte. Aku memperhatikannya dari tadi. Tetapi sepertinya kehadiranku tak mampu mengusik gundahnya lamun yang tengah melandanya. Sebuah bus –yang lebih kelihatan seperti onggokan besar barang rongsokan itu- berhenti. Aku meninggalkan perempuan itu disana sendirian. Di atas bus pikiranku melayang pada sosok wanita yang ku temui tadi. Apa yang tengah menjadi buah pikirannya? pikirku.
* * *
Aku turun dari bus di depan sebuah gerbang bangunan besar. Bangunan itu terletak beberapa meter dari gerbang depannya. Tempat yang setiap hari kudatangi dan kuhuni dari jam tujuh pagi hingga senja menjelang. Sebelum melangkah masuk ke gerbang bangunan itu, aku menghela nafas panjang. “Aku akan tersenyum hari ini, seperti aku tersenyum kemaren, kemaren lusa dan untuk seterusnya.”ucapku lirih pada AKU.
USAHA IKAN TUNA CIK PARMAN. Setelah untuk kesekian kalinya aku melangkah ke gerbang bangunan ini. Nama itu ditulis jelas dengan huruf kapital yang berukuran besar di selembar papan yang dipakukan pada dua buah bambu. Inilah kantorku – jika tempat seseorang bekerja disebut kantor- maka inilah kantorku.
Sebuah pintu kayu besar berukuran tiga kali tiga meter menghalangi jalanku. Aku meraba-raba isi tas lusuh berwarna coklat tua yang tergantung pasrah di bahuku. Aku mencari kunci. Tetapi aku tidak bisa menemukannya padahal tas itu sudah ku obrak-abrik. Aku mengeluarkan semua isinya. Kunci itu tak juga ketemu.
Hari ini adalah giliranku datang lebih pagi untuk membuka pintu raksasa ini. Jika aku lalai maka Cik Parman tanpa babibu bisa memotong gajiku. Dan itu berarti bencana besar bagiku. Aku segera berlari ke luar gerbang. Berharap ada ojek yang lewat untuk mengantarku pulang. Aku yakin kunci itu pasti tertinggal di rumah.
Beberapa menit berlalu aku tak menemukan ojek. Kulirik jam tanganku, pukul enam lewat tiga puluh lima menit. Sebentar lagi para pekerja akan berdatangan. Sedangkan pintu belum kubuka. Aku mulai gelisah. Tak ada angkutan umum yang lewat di jalan ini selain bus rongsokan yang mengantarku tadi pagi. Karena memang daerah ini terletak agak jauh dari pemukiman. Jalannya pun tak elok. Satu-satunya angkutan yang sampai ke tempat ini hanyalah bus rongsokan yang mengantarku tadi. Bus itu lewat kesini dua kali sehari. Jam enam pagi dan jam empat sore membawa warga kampung yang harus pergi bekerja pagi-pagi ke kota.
Aku memutuskan untuk meminjam sepeda Dik Tirah. Dik Tirah itu juga bekerja disini. Ia satu-satunya teman baikku. Tempatku berbagi keluh kesah. Rumahnya kira-kira dua ratus meter dari gudang ikan –sebutan tempat ini-. Rumahnya adalah rumah terdekat dari gudang ikan ini. Setengah berlari aku menyusuri jalan yang sudah hampir tujuh tahun ku tempuh setiap hari. Nafasku sesak. Lebih sesak lagi ketika kudapati rumah kayu yang berukuran tak lebih dari empat kali empat meter itu. Aku terkulai duduk di lesehan di depan rumah kecil itu. Aku tak tau lagi harus bagaimana.
Mataku nanar memandang jalan. Dari kejauhan kulihat seorang pria tambun berlari ke arahku.
“Dar..!! Daren..!!” teriaknya memanggil namaku. Tangannya melambai-lambai. Aku berdiri dan berlari mendekatinya.
“Ada apa? Kenapa Abang kesini?” tanyaku.
Ia meraih tanganku dan meletakkan sebuah kunci yang sudah karatan itu di telapak tanganku. “Aku mengantarkan kunci ini.” jawabnya di sela-sela nafasnya yang memburu.
Aku memegang kunci itu dengan tangan kiriku yang sudah basah keringat. Kutatap mata pria yang sudah menjadi buluh perinduku selama lima tahun itu lekat. Aku mengusap keringat di dahinya dan kemudian menggenggam tangannya. Kami berdua berjalan menuju gudang ikan. Meskipun kami jarang berkata-kata karena pahitnya hidup telah menelan kalimat, tetapi dalam angan, jiwa kami senantiasa bersenandung, bercakap-cakap riang. Senandung jiwa muda yang telah menjadi sangat dewasa karena kerasnya hidup.
Aku merasa senang jika berada di dekat pria yang lima hari lagi usianya genap dua puluh tujuh tahun ini. Angin berhembus menjatuhkan gulir-gulir peluh yang mengalir deras di tubuh kami yang penat. Lima tahun yang lalu kami adalah pasangan muda yang berikrar untuk merentas hidup bersama di usia yang masih sangat dini. Sedangkan umurku terpaut dua tahun darinya. Lima tahun yang lalu kami adalah pasangan muda yang berbahagia dan sampai hari ini semuanya tak berubah. Kami adalah pasangan muda yang bahagia. Batin kami riang meskipun jasad lelah merenda nasib.
* * *
“Assalamu’alaikum...!!” ucapku ketika memasuki bekas gerbong kereta api yang sudah kusulap menjadi sebuah rumah – tempatku berteduh, tempat suamiku berteduh, tempat anak-anak asuhku bercanda riang -.
Tak ada orang di rumah. Aku pergi ke luar, kulihat sepeda motor butut suamiku bersandar di sisi gerbong lain. Sudah hampir seminggu sepeda motor butut itu mogok. Orang bengkel tak mau lagi membantu memperbaikinya. Sudah, buang saja barang rongsokan ini. Tak kan bisa di elokkan lagi. Ucap mereka.
Sebenarnya ada tiga gerbong kereta api. Satu gerbong kujadikan rumah. Sedangkan yang dua lagi disulap suamiku menjadi kelas – jika tempat yang digunakan anak-anak untuk belajar disebut kelas-. Masyarakat setempat mengizinkan kami – aku dan suamiku – menempati dan menggunakan gerbong untuk kepentingan anak-anak Kampung Rambutan ini. Siang hari suamiku mengajar anak-anak kampung yang tak mampu bersekolah untuk membaca dan menulis. Anak-anak itu usianya dari enam hingga sepuluh tahun. Bahkan tak jarang juga ada bapak-bapak atau ibu-ibu yang mengikuti kelas ini untuk belajar membaca dan menulis. Sedangkan aku mengajar remaja-remaja yang putus sekolah pada malam harinya. Semuanya cuma-cuma. Tak sepeserpun uang kami minta. Bagi kami, mendidik mereka adalah tabungan. Namun tak kerap orang tua mereka mengantarkan beras atau lauk ketika asap tak lagi mengepul di tungku dapur kami.
“Ayah Budi pergi ke kantor.” Sayup-sayup aku mendengar suara Bang Wahyu dari gerbong sebelah. Rupanya kelas belum bubar. Aku segera masuk rumah, meraih handuk yang tergantung di paku dinding gerbong. Dengan menenteng sebuah ember kecil aku menuruni sebuah jalan setapak menuju sumur kecil di belakang gerbong. Aku mengguyur tubuhku yang anyir karena bau ikan Tuna. Di gudang ikan aku bekerja membersihkan kotoran ikan Tuna yang akan dikirim ke kota. Seharian duduk dihadapan ratusan kilo ikan Tuna dengan tangan bergelimang kotoran ikan, amis dan anyir.
Setelah mandi aku segera menghidupkan tungku. Memasak lauk untuk makan malam. Setelah itu aku terlelap di atas lapisan tebal kardus. Angin sore seakan mendongeng mengantar tidurku yang lelap.
* * *
“Dar..Daren..!!” Bang Wahyu menggoyang-goyang badanku lembut. “Azan maghrib Dik.” ucapnya. Akh..aku ketiduran. Aku segera berwudhu ke sumur dan kembali lagi ke rumah untuk shalat berjemaah dengan tiga orang anak asuhku, Lintang, Alung dan si kecil Pipit yang belum genap lima tahun. Bang Wahyu shalat di surau Uwak Abdul, seperti biasanya.
Selesai shalat aku mengajarkan Lintang dan Alung ngaji irama tartil. Sedangkan Pipit menggelayut manja di pangkuanku. Pipit sudah khatam IQRO’. Abinya – Bang Wahyu- membelikannya Al Quran kecil kemaren. Biasanya Bang Wahyu sudah pulang ketika kami selesai membaca ayat-ayat cinta Sang Khalik. Kemudian Lintang dan Alung menyetor hafalan mereka pada pria yang mereka panggil Abi. Usia Lintang dan Alung tidak terpaut jauh. Hanya beberapa bulan. Dan sekarang usia mereka sudah delapan tahun lebih. Aku sangat bangga pada mereka. Mereka sekarang sudah hafal empat juz.
Shalat isya, kami shalat berjemaah dengan Bang Wahyu. Makan malam seadanya dan kemudian aku ke gerbong sebelah untuk mengajar sampai pukul sepuluh malam. Biasanya anak-anak sudah tidur ketika aku pulang. Sedangkan Bang Wahyu, pasti tengah mengutak-atik jala ikan, menjahitnya jika ada jala yang robek. Suamiku, pria terbaik yang pernah ku temui dalam hidupku. Tak kusangka ia bisa bertahan sejauh ini. Ia rela hidup susah denganku di tempat terpencil ini. Meninggalkan kehidupannya yang berkecukupan di kota. Meninggalkan keluarganya demi aku, Daren.
Daren, gadis sebatang kara yang ditinggal mati kedua orang tuanya ketika sebuah wabah melanda kampungnya. Daren yang tak mau meninggalkan kampungnya, Kampung Rambutan, sebuah kampung terpencil di Pulau Natuna yang terpencil walaupun dipaksa dengan cambuk, walaupun di iming-imingi dengan uang emas. Karena dari dulu ia bertekad melanjutkan perjuangan Abak dan Uminya untuk membangun sebuah sekolah desa di kampungnya. Ia tak akan meninggalkannya dalam keadaan tanpa pendidikan tanpa harapan seperti para putra Natuna yang lebih memilih meninggalkan Natuna setelah sukses di kota.
Daren, gadis gila yang mengasuh tiga orang anak yatim piatu di kampungnya. Daren, gadis yang dicintai suaminya karena hatinya yang tulus. Setulus matahari menerangi bumi. Setulus hujan mengguyur wajah bumi yang sedang kering. Setulus langit menyelimuti dunia. Daren, gadis yang akan memperoleh nikmat di hari kelaknya di saat anak-anak asuhnya menjadi orang sukses dan memperjuangkan mimpi-mimpinya.
* * *
Pagi-pagi buta aku bangun. Menyiapkan lauk untuk sarapan dan makan siang keluargaku. Dan setelah mengerjakan semua pekerjaan rumahku, seperti biasa aku berjalan setengah kilo ke halte bus kemaren. Dan pagi ini aku kembali melihat perempuan itu. Aku memperhatikannya cukup lama sampai kemudian dia mendekat padaku. “Dar..!!” panggilnya pelan.
Aku kaget. Darimana dia tau namaku.
“Aku pikir umurku tak akan lama lagi.” dia berbicara padaku. Ia menangis. “Aku mohon asuhlah putriku. Aku mohon.” ucapnya lagi.
Aku tak bisa berkata-kata. Ia memegang pergelangan tanganku dan menuntunku ke sebuah gubuk reyot di bawah sebuah jembatan tak jauh dari halte. Aku melihat bayi merah perempuan yang dibalut sembarangan dengan kain bulukan. Perempuan itu menggendong bayi itu kemudian memberikannya padaku. Aku menerimanya. Bayi itu sangat cantik . . . .
Satu anak asuh lagi. Bukankah ini artinya pintu surga semakin terbuka lebar jika dikau ikhlas, Daren? Memantapkan hatiku, kubisikkan pada bayi merah itu “Namamu Syifa, Nak, jadilah obat bagi banyak orang di masa depanmu nanti.” Dalam hatiku berdoa, ya Allah kehidupanku tak pernah kurang meskipun tidak berkecukupan, cukupkanlah bagi kami reski-Mu ya Allah sehingga kami tegak dan tegar meneruskan perjuangan ini. Dengan langkah mantap, ku berbalik pulang untuk berbenah menyambut keluarga baru kami.
Oleh Miming Murti Karlina
* * *
Aku turun dari bus di depan sebuah gerbang bangunan besar. Bangunan itu terletak beberapa meter dari gerbang depannya. Tempat yang setiap hari kudatangi dan kuhuni dari jam tujuh pagi hingga senja menjelang. Sebelum melangkah masuk ke gerbang bangunan itu, aku menghela nafas panjang. “Aku akan tersenyum hari ini, seperti aku tersenyum kemaren, kemaren lusa dan untuk seterusnya.”ucapku lirih pada AKU.
USAHA IKAN TUNA CIK PARMAN. Setelah untuk kesekian kalinya aku melangkah ke gerbang bangunan ini. Nama itu ditulis jelas dengan huruf kapital yang berukuran besar di selembar papan yang dipakukan pada dua buah bambu. Inilah kantorku – jika tempat seseorang bekerja disebut kantor- maka inilah kantorku.
Sebuah pintu kayu besar berukuran tiga kali tiga meter menghalangi jalanku. Aku meraba-raba isi tas lusuh berwarna coklat tua yang tergantung pasrah di bahuku. Aku mencari kunci. Tetapi aku tidak bisa menemukannya padahal tas itu sudah ku obrak-abrik. Aku mengeluarkan semua isinya. Kunci itu tak juga ketemu.
Hari ini adalah giliranku datang lebih pagi untuk membuka pintu raksasa ini. Jika aku lalai maka Cik Parman tanpa babibu bisa memotong gajiku. Dan itu berarti bencana besar bagiku. Aku segera berlari ke luar gerbang. Berharap ada ojek yang lewat untuk mengantarku pulang. Aku yakin kunci itu pasti tertinggal di rumah.
Beberapa menit berlalu aku tak menemukan ojek. Kulirik jam tanganku, pukul enam lewat tiga puluh lima menit. Sebentar lagi para pekerja akan berdatangan. Sedangkan pintu belum kubuka. Aku mulai gelisah. Tak ada angkutan umum yang lewat di jalan ini selain bus rongsokan yang mengantarku tadi pagi. Karena memang daerah ini terletak agak jauh dari pemukiman. Jalannya pun tak elok. Satu-satunya angkutan yang sampai ke tempat ini hanyalah bus rongsokan yang mengantarku tadi. Bus itu lewat kesini dua kali sehari. Jam enam pagi dan jam empat sore membawa warga kampung yang harus pergi bekerja pagi-pagi ke kota.
Aku memutuskan untuk meminjam sepeda Dik Tirah. Dik Tirah itu juga bekerja disini. Ia satu-satunya teman baikku. Tempatku berbagi keluh kesah. Rumahnya kira-kira dua ratus meter dari gudang ikan –sebutan tempat ini-. Rumahnya adalah rumah terdekat dari gudang ikan ini. Setengah berlari aku menyusuri jalan yang sudah hampir tujuh tahun ku tempuh setiap hari. Nafasku sesak. Lebih sesak lagi ketika kudapati rumah kayu yang berukuran tak lebih dari empat kali empat meter itu. Aku terkulai duduk di lesehan di depan rumah kecil itu. Aku tak tau lagi harus bagaimana.
Mataku nanar memandang jalan. Dari kejauhan kulihat seorang pria tambun berlari ke arahku.
“Dar..!! Daren..!!” teriaknya memanggil namaku. Tangannya melambai-lambai. Aku berdiri dan berlari mendekatinya.
“Ada apa? Kenapa Abang kesini?” tanyaku.
Ia meraih tanganku dan meletakkan sebuah kunci yang sudah karatan itu di telapak tanganku. “Aku mengantarkan kunci ini.” jawabnya di sela-sela nafasnya yang memburu.
Aku memegang kunci itu dengan tangan kiriku yang sudah basah keringat. Kutatap mata pria yang sudah menjadi buluh perinduku selama lima tahun itu lekat. Aku mengusap keringat di dahinya dan kemudian menggenggam tangannya. Kami berdua berjalan menuju gudang ikan. Meskipun kami jarang berkata-kata karena pahitnya hidup telah menelan kalimat, tetapi dalam angan, jiwa kami senantiasa bersenandung, bercakap-cakap riang. Senandung jiwa muda yang telah menjadi sangat dewasa karena kerasnya hidup.
Aku merasa senang jika berada di dekat pria yang lima hari lagi usianya genap dua puluh tujuh tahun ini. Angin berhembus menjatuhkan gulir-gulir peluh yang mengalir deras di tubuh kami yang penat. Lima tahun yang lalu kami adalah pasangan muda yang berikrar untuk merentas hidup bersama di usia yang masih sangat dini. Sedangkan umurku terpaut dua tahun darinya. Lima tahun yang lalu kami adalah pasangan muda yang berbahagia dan sampai hari ini semuanya tak berubah. Kami adalah pasangan muda yang bahagia. Batin kami riang meskipun jasad lelah merenda nasib.
* * *
“Assalamu’alaikum...!!” ucapku ketika memasuki bekas gerbong kereta api yang sudah kusulap menjadi sebuah rumah – tempatku berteduh, tempat suamiku berteduh, tempat anak-anak asuhku bercanda riang -.
Tak ada orang di rumah. Aku pergi ke luar, kulihat sepeda motor butut suamiku bersandar di sisi gerbong lain. Sudah hampir seminggu sepeda motor butut itu mogok. Orang bengkel tak mau lagi membantu memperbaikinya. Sudah, buang saja barang rongsokan ini. Tak kan bisa di elokkan lagi. Ucap mereka.
Sebenarnya ada tiga gerbong kereta api. Satu gerbong kujadikan rumah. Sedangkan yang dua lagi disulap suamiku menjadi kelas – jika tempat yang digunakan anak-anak untuk belajar disebut kelas-. Masyarakat setempat mengizinkan kami – aku dan suamiku – menempati dan menggunakan gerbong untuk kepentingan anak-anak Kampung Rambutan ini. Siang hari suamiku mengajar anak-anak kampung yang tak mampu bersekolah untuk membaca dan menulis. Anak-anak itu usianya dari enam hingga sepuluh tahun. Bahkan tak jarang juga ada bapak-bapak atau ibu-ibu yang mengikuti kelas ini untuk belajar membaca dan menulis. Sedangkan aku mengajar remaja-remaja yang putus sekolah pada malam harinya. Semuanya cuma-cuma. Tak sepeserpun uang kami minta. Bagi kami, mendidik mereka adalah tabungan. Namun tak kerap orang tua mereka mengantarkan beras atau lauk ketika asap tak lagi mengepul di tungku dapur kami.
“Ayah Budi pergi ke kantor.” Sayup-sayup aku mendengar suara Bang Wahyu dari gerbong sebelah. Rupanya kelas belum bubar. Aku segera masuk rumah, meraih handuk yang tergantung di paku dinding gerbong. Dengan menenteng sebuah ember kecil aku menuruni sebuah jalan setapak menuju sumur kecil di belakang gerbong. Aku mengguyur tubuhku yang anyir karena bau ikan Tuna. Di gudang ikan aku bekerja membersihkan kotoran ikan Tuna yang akan dikirim ke kota. Seharian duduk dihadapan ratusan kilo ikan Tuna dengan tangan bergelimang kotoran ikan, amis dan anyir.
Setelah mandi aku segera menghidupkan tungku. Memasak lauk untuk makan malam. Setelah itu aku terlelap di atas lapisan tebal kardus. Angin sore seakan mendongeng mengantar tidurku yang lelap.
* * *
“Dar..Daren..!!” Bang Wahyu menggoyang-goyang badanku lembut. “Azan maghrib Dik.” ucapnya. Akh..aku ketiduran. Aku segera berwudhu ke sumur dan kembali lagi ke rumah untuk shalat berjemaah dengan tiga orang anak asuhku, Lintang, Alung dan si kecil Pipit yang belum genap lima tahun. Bang Wahyu shalat di surau Uwak Abdul, seperti biasanya.
Selesai shalat aku mengajarkan Lintang dan Alung ngaji irama tartil. Sedangkan Pipit menggelayut manja di pangkuanku. Pipit sudah khatam IQRO’. Abinya – Bang Wahyu- membelikannya Al Quran kecil kemaren. Biasanya Bang Wahyu sudah pulang ketika kami selesai membaca ayat-ayat cinta Sang Khalik. Kemudian Lintang dan Alung menyetor hafalan mereka pada pria yang mereka panggil Abi. Usia Lintang dan Alung tidak terpaut jauh. Hanya beberapa bulan. Dan sekarang usia mereka sudah delapan tahun lebih. Aku sangat bangga pada mereka. Mereka sekarang sudah hafal empat juz.
Shalat isya, kami shalat berjemaah dengan Bang Wahyu. Makan malam seadanya dan kemudian aku ke gerbong sebelah untuk mengajar sampai pukul sepuluh malam. Biasanya anak-anak sudah tidur ketika aku pulang. Sedangkan Bang Wahyu, pasti tengah mengutak-atik jala ikan, menjahitnya jika ada jala yang robek. Suamiku, pria terbaik yang pernah ku temui dalam hidupku. Tak kusangka ia bisa bertahan sejauh ini. Ia rela hidup susah denganku di tempat terpencil ini. Meninggalkan kehidupannya yang berkecukupan di kota. Meninggalkan keluarganya demi aku, Daren.
Daren, gadis sebatang kara yang ditinggal mati kedua orang tuanya ketika sebuah wabah melanda kampungnya. Daren yang tak mau meninggalkan kampungnya, Kampung Rambutan, sebuah kampung terpencil di Pulau Natuna yang terpencil walaupun dipaksa dengan cambuk, walaupun di iming-imingi dengan uang emas. Karena dari dulu ia bertekad melanjutkan perjuangan Abak dan Uminya untuk membangun sebuah sekolah desa di kampungnya. Ia tak akan meninggalkannya dalam keadaan tanpa pendidikan tanpa harapan seperti para putra Natuna yang lebih memilih meninggalkan Natuna setelah sukses di kota.
Daren, gadis gila yang mengasuh tiga orang anak yatim piatu di kampungnya. Daren, gadis yang dicintai suaminya karena hatinya yang tulus. Setulus matahari menerangi bumi. Setulus hujan mengguyur wajah bumi yang sedang kering. Setulus langit menyelimuti dunia. Daren, gadis yang akan memperoleh nikmat di hari kelaknya di saat anak-anak asuhnya menjadi orang sukses dan memperjuangkan mimpi-mimpinya.
* * *
Pagi-pagi buta aku bangun. Menyiapkan lauk untuk sarapan dan makan siang keluargaku. Dan setelah mengerjakan semua pekerjaan rumahku, seperti biasa aku berjalan setengah kilo ke halte bus kemaren. Dan pagi ini aku kembali melihat perempuan itu. Aku memperhatikannya cukup lama sampai kemudian dia mendekat padaku. “Dar..!!” panggilnya pelan.
Aku kaget. Darimana dia tau namaku.
“Aku pikir umurku tak akan lama lagi.” dia berbicara padaku. Ia menangis. “Aku mohon asuhlah putriku. Aku mohon.” ucapnya lagi.
Aku tak bisa berkata-kata. Ia memegang pergelangan tanganku dan menuntunku ke sebuah gubuk reyot di bawah sebuah jembatan tak jauh dari halte. Aku melihat bayi merah perempuan yang dibalut sembarangan dengan kain bulukan. Perempuan itu menggendong bayi itu kemudian memberikannya padaku. Aku menerimanya. Bayi itu sangat cantik . . . .
sumber : dakwatuna.com |
Oleh Miming Murti Karlina
0 komentar:
Posting Komentar