Selasa, 07 April 2015


Mari sejenak kita temui seorang lelaki yang menua dalam darmanya sebagai rasul. Sepanjang ruahan bakti pada Ilahi itu, terselip satu penantian. Tak juga hadir sesosok kecil yang akan memanggil, “Ayah!” Tak juga wujud si mungil yang akan naik ke punggung dan menjadikannya tunggangan keliling ruang. Harapannya untuk memiliki pelanjut agama Allah yang lurus dari sulbinya telah lama digayutkan di langit dengan temali do’a. Harapan itu tak pernah hilang. Hingga ketika rambutnya memutih, Ibrahim pun menuai buah kesabaran dan baik sangkanya pada Sang Pencipta. Lahirlah Isma’il, seorang putra yang santun, amat sabar, dan bijaksana.

Lalu bayangkanlah ketika sang ayah, yang menyayangi putranya bagai kakek menggayun cucu itu diperintahkan meninggalkan si bayi merah dan ibunya di padang gersang tak bertanaman. Allah yang memberinya kesabaran menanti. Allah yang beberapa cecah di depan mengaruniakan sang buah hati. Allah yang memerintahkan agar mereka berpisah kini. Berpisah tanpa janji untuk berjumpa lagi. Ringankah itu bagi Ibrahim?

Jawaban sejatinya adalah, “Tidak”.

Dan bayangkan, seorang ayah yang tak menyaksikan bagaimana tumbuh kembang putranya, lalu ketika anak itu sampai pada umur sanggup membantu kerja-kerjanya, ia didatangi mimpi sejati tiga malam berulang turut. Sebuah gambar yang jelas, sebuah tayangan yang tak bisa di lain tafsir. Ia menyembelih Isma’il. Dan itu perintah. Sesudah penantian, ada kelahiran sekaligus perpisahan. Sesudah perpisahan ada pertemuan, lalu perintah membunuh sang pengobat rindu. Dengan tangannya sendiri. Ringankah itu bagi Ibrahim?

Jawaban sejatinya adalah, “Tidak”.

Banyak orang beranggapan bahwa ikhlas itu harus ditandai rasa ringan dalam mengerjakannya. Jika terasa menyesak dalam dada dan terbeban dalam jiwa, demikian pendapat mereka, maka belumlah ikhlas namanya. Pada keadaan tertentu, dan ini tidak banyak, mungkin dianggap benar. Namun, dalam banyak hal ia tidak tepat. Bahkan fahaman ini bermasalah ketika membuat kita tak jadi beramal karena khawatir tidak ikhlas ketika telah terasa bahwa amal yang dititahkan memang berat adanya.

Mari saksikan Ibrahim yang merasa berat dalam banyak titik ujian penting di hidupnya. Tapi terasa berat itu ternyata tak menjadi ukuran bagi keikhlasannya. Ibrahim tentu saja ikhlas. Bahkan sangat ikhlas. Dan dialah salah satu makhluq terikhlas yang pernah tampil di pentas bumi. Keikhlasan memang tak selalu tumbuh dari rasa ringan dalam melaksanakan perintah. Ikhlas bisa saja tumbuh dari kerja-kerja berat mengalahkan nafsu diri. Pengorbanan. Begitu kita menyebutnya.

“Berangkatlah baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.s. At-Taubah: 41)

Tak pantas kita menghakimi orang-orang yang menampakkan rasa berat di dalam perjuangan. Justru bisa jadi pahala yang mereka terima jauh lebih besar daripada yang merasa beramalnya ringan-ringan saja. “Ajruki ‘alaa wadri nashaabik,” kata Sang Nabi pada ‘Aisyah. “Pahalamu senilai dengan kadar kepayahanmu.” Dan sejarah tak pernah menafikan bahwa ada orang-orang yang berangkat berjihad dengan ringan karena merasa justru lepas dari beban-beban keluarga; istri yang baginya cerewet, anak-anak yang rewel, atau nafkah yang sulit ditata. Begitu pula, ada yang merasa berat berangkat karena istri yang shalihah, anak-anak yang qu’rata a’yun, dan rumah sakinah penuh cinta.

sumber gambar: www.flickr.com
Maka, alangkah berharga jika ikhlas tidak dibatasi oleh kesan perasaan sesaat. Ringan atau berat. Biarkanlah jikapun amalan kita terasa ringan, hingga kita menikmatinya. Lalu melupakannya agar pahala yang ditetapkan tak terusik lagi. Dan biarkanlah pula jikapun amalan kita terasa berat. Agar kita menghayatinya, sembari berharap pahala agung dari sisi-Nya.

 
Sumber:
“Lapis-Lapis Keberkahan” oleh Ust. Salim A. Fillah
Posted by Unknown On 06.14 No comments READ FULL POST

Senin, 06 April 2015


“Sesungguhnya manusia pertama yang akan diadili pada Hari Kiamat,” demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits riwayat Imam Muslim, Ahmad, dan An-Nasa’i, “adalah orang yang mati syahid di jalan Allah.”

“Dia akan didatangkan, dihadapkan, dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat Allah yang di anugerahkan padanya di dunia,” lanjut beliau, “Lalu dia pun mengenali dan mengakuinya. Bertanyalah Rabb kita ‘Azza wa Jalla kepadanya, ‘Amal apakah yang kau kerjakan dengan nikmat-nikmat-Ku itu, wahai hamba-Ku?’ Dia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid di jalan-Mu, Ya Rabbi,’ Allah berfirman, ‘Dusta! Kamu berperang dengan niat agar dikatakan sebagai seorang gagah berani. Kau telah mendapatkannya, memang demikianlah yang dikatakan manusia tentang dirimu.’ Kemudian diperintahkan agar dia diseret pada mukanya. Lalu dia dilemparkan ke dalam neraka.”

“Manusia berikutnya yang akan dihakimi,” sambung beliau Sang Nabi, “adalah seorang yang membaca Al-Qur’an, mempelajari ilmu, serta mengajarkannya. Dia akan didatangkan, dihadapkan, dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Maka dia pun mengenali dan mengakuinya. Bertanyalah Rabb kita ‘Azza wa Jalla kepadanya, ‘Amal apakah yang kau kerjakan dengan nikmat-nikmat-Ku itu, wahai hamba-Ku?’ Dia menjawab, ‘Aku membaca Al-Qur’an, mempelajari ilmu, serta mengajarkannya semata-mata karena Engkau, Ya Rabbi.’ Allah berfirman, ‘Dusta! Kamu menuntut ilmu agar dikatakan sebagai seorang qari’. Kau telah mendapatkannya, memang begitulah yang dikatakan manusia tentang dirimu.’ Kemudian diperintahkan agar dia diseret pada mukanya. Lalu dia dilemparkan ke dalam neraka.”

“Manusia terkemudian yang akan dimahkamahkan,” pungkas Al-Habib Shallallahu ‘Alaihi wa Salla, “adalah seorang yang dilimpahi rizqi dan berbagai macam harta benda. Dia akan didatangkan, dihadapkan, dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Maka dia pun mengenali dan mengakuinya. Bertanyalah Rabb kita ‘Azza wa Jalla kepadanya, ‘Amal apakah yang kau kerjakan dengan nikmat-nikmat-Ku itu, wahai hamba-Ku?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infak pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena-Mu.” Allah berfirman, ‘Dusta! Kamu berbuat demikian supaya dikatakan sebagai seorang dermawan mulia. Kau telah mendapatkannya, memang begitulah yang dikatakan manusia tentang dirimu.’ Kemudian diperintahkan agar dia diseret pada mukanya. Lalu dia dilemparkan ke dalam neraka.”


Sebab hidup ini adalah ibadah kepada Allah, maka tugas kehambaan kita adalah mengemudi hati menujuNya. Di dalam hati itu, jaminan keselamatan dunia dan akhirat kita bernama keikhlasan. Dan betapa beratnya mengendalikan hati agar ia ikhlas kepada Allah.

Goda-goda untuk memuliakan diri di hadapan manusia dengan amal-amal kita, terus dihembuskan oleh hawa dan dinyalakan oleh syaitan. Amat besar gelora dalam dada agar amal dilihat, didengar,, dikisahkan, dipanggungkan, dan ditayangkan. Amat tinggi hasrat dalam hati agar diri ditakjubi, dipuji, dan dianggap tinggi.

Padahal para pendahulu kita yang shalih lebih memilih untuk menutup rapat-rapat keshalihannya dari indra manusia. Mereka tidak mengizinkan kemesraannya dengan Allah dilihat dan didengar serta ditakjubi dan dipuji oleh sesama. Mereka berjuang untuk merahasiakan amalnya, sekeras upaya mereka untuk beramal itu sendiri.

Demikianlah, “Tidak sempurna suatu amal baik kecuali dengan tiga perkara,” ujar Imam Ja’far Ash-Shadiq kepada Imam Sufyan Ats-Tsauri Rahimahumallah, “yaitu menyegerakannya, mengganggpanya kecil, dan merahasiakannya.”


Sumber :
“Lapis-Lapis Keberkahan” oleh Ust. Salim A. Fillah
Posted by Unknown On 17.12 No comments READ FULL POST

Minggu, 05 April 2015

Kalau engkau bimbang menghadapi orang-orang di sekitarmu yang sulit memahami jalan pikiranmu. Atau di saat kawan dan keluarga yang engkau kira akan menjadi pendukung setiamu, tetapi justru menjadi orang pertama yang tidak mempercayaimu dan satu per satu meninggalkanmu. Atau manakala keletihan menyergapmu dan semua apa yang engkau kerjakan dibalas dengan penghinaan dan caci maki belaka. Atau bahkan ketika engkau semata-mata berpijak pada kepentingan yang lebih luas dan bersedia meminggirkan ego dan minat pribadi, masih saja mereka mempertanyakan dan mempersoalkan apa yang tengah engkau kerjakan... Maka ketauhilah, pada saat itu engkau sebaiknya kembali membaca sejarah Nabi Muhammad saw.

Ada banyak titik sepertimu saat ini, saat Muhammad bisa mempertimbangkan untuk menghentikan ikhtiar
Mungkin saat dalam rukunya ia dijerat di bagian leher
Mungkin saat ia sujud lalu kepadanya disiram isi perut unta
Mungkin saat ia bangkit dari duduknya lalu dahinya disambar batu
Mungkin saat ia dikatai gila, penyair, dukun, dan tukang sihir
Mungkin saat ia dan keluarga diboikot total di syi’b Abi Thalib
Mungkin saat ia disaksikan sahabat-sahabatnya disiksa di depan mata
Atau saat paman terkasih dan istri tersayang berpulang
Atau justru saat dunia ditawarkan kepadanya; tahta, harta, wanita...

Engkau akan mulai mengerti dan mengenal lebih dekat lagi sosok manusia agung bernama Muhammad. Engkau akan sadar betapa sungguh susah menjadi seorang Muhammad. Kini, engkau akan tersadar betapa bukan hanya engkau yang mengalami semua cobaan itu. Engkau tidak sendirian dan tidak pernah sendirian. Shallu ‘ala an-nabiy. Mari bershalawat kepada Nabi!

Muhammad tahu, kawan
Ridha Allah tak terletak pada sulit atau mudahnya
Berat atau ringannya, bahagia atau deritanya
Senyum atau lukanya, tawa atau tangisnya

Ridha Allah terletak pada
Apakah kita menaatiNya
Dalam menghadapi semua itu
Apakah kita berjalan dengan menjaga perintah dan laranganNya
Dalam semua keadaan dan ikhtiar yang kita lakukan

Membaca ulang kisah hidupmu membawa kami kembali melintasi gurun kehidupan, bertahta kepada jejak pergulatan iman yang kau wariskan, bersenandung pada gerak awan yang menaugi setiap langkahmu dalam kasih sayang semesta, bercermin pada kisah kasihmu dengang ahlul baitmu yang suci, bergetaran saat terbayang betapa jatuh bangunnya dirimu menerima amanah Ilahi, dan berurai air mata menyimak hikmah ketika sisi manusiawimu bersentuhan dengan keaguangan Ilahi. Duhai manusia pilihan, tak ingin kami lepaskan energi kami dengan sia-sia setiap kusebut namamu, datanglah kembali, oh Muhammad... Ya Sayyidi... Ya Rasulallah...


Ashabul Kahfi Melek 3 Abad oleh Dr. Nadirsyah dan dr. Nurrussyariah.
Dalam Dekapan Ukhuwah oleh Ust. Salim A. Fillah.
Posted by Unknown On 18.37 No comments READ FULL POST

Sabtu, 04 April 2015

Seorang gembala suatu hari merauti kayu dengan pisaunya. Kemarin, tongkat yang biasa dipakainya untuk menghalau dan mengatur ternaknya patah. Kayu yang disisiki itu adalah bakal tongkat baru.

Di tengah keasyikannya mengukir hiasan pegangan di tongkat barunya, salah satu dombanya tiba-tiba memekik-mekik. Domba itu melompati kawanannya dan lengkingannya makin nyaring tiap kali dia menapakkan kakinya ke tanah. Kawanan domba itu kisruh kalang kabut, sementara si pembuat onar terus mengacau. Dalam keriuhan, larinya kian cepat. Akhirnya dia menghambur menubruk tuannya dengan jerit menyayat hati. Sang gembala terpelanting kaget. Pisau di tangannya terlempar dan seraut serat kayu menghujam menyusup ke dalam jari telunjuknya.

Sang domba terguling-guling, lalu bangkit. Lalu tenang. Dia mulai berjalan lagi, sedikit pincang, namun tak lagi kesetanan. Sang gembala marah dan menghalau dengan pukulan. Dia tak tahu penyebab kehebohan barusan. Dia tak sadar bahwa sebuah paku berkarat yang tadi menancap di kaki sang domba kini tergeletak di dekatnya.

Dan dia meraut lagi. Tak peduli pada telusuk kayu yang merasuki jarinya. Pasti sakit jika dicabut, pikirnya. Biarkan saja.

Hari berganti dan selusup itu mulai membuat jarinya bengkak, meradang, dan menggembung nyeri. Sakit sekali. Dia berteriak mengaduh tiap kali sesuatu menyentuhnya. Bahkan tiap kali berjabat tangan dengan rekan, dia meringis kesakitan, marah, dan menumpah serapahi mereka.

“Aw...sakit sekali!!” Jeritnya.


Orang terluka, seperti cerita tentang gembala ini, merasa sakit bukan karena apa yang sedang terjadi di luar memang menyakitkan. Dia merasakan sakit itu karena dia sedang terluka. Lalu mereka menanggapi di luar batas kewajaran, melebih-lebihkan, dan bertingkah dengan rasa terancam yang begitu tinggi.

“Kau tahu John, orang terluka melukai orang lain. Ketika seseorang mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyakitkan, kau perlu memeriksanya lebih dalam. Kau perlu melihat hingga ke bawah permukaan.” Seorang kawan berujar kepada John C. Maxwell dalam Winning with People.

“Mereka menyangka tiap teriakan keras ditujukan pada mereka.” (Qs. Al-Munafiqun: 4)

Kesalahan terbesar dari orang-orang yang terluka adalah mereka tak segera menyembuhkan luka lamanya. Telusuk yang menganggu itu dibiarkan. Jadilah orang-orang yang terluka itu sebagai mereka yang enggan berubah. Dia memilih menikmati lukanya. Dia merawat baik-baik telusuk itu agar tetap berada di dalam kulitnya. Dia kian kemari menampilkan kesakitannya dengan segala cara.

“Orang yang terluka,” kata John C. Maxwell, “Juga sulit menerima kegagalan.” Semua ketidakberesan dalam hidup yang sebenarnya bersumber dari lukanya tak disikapi sebagai pelajaran berharga. Dia selalu menemukan orang, pihak, kelompok, benda atau apapun yang menurutnya telah menjadi sebab dari segala kepahitan. Telusuk itu masih ada di sana, mengeram dalam diam namun mendatangkan kuman-kuman. Tapi tiap orang yang menyalaminya dituduh sebagai sumber siksaan. “Kalian menyakitiku,” erangnya.

Orang terluka kurang suka membahas persoalan. Mereka tak tertarik untuk memperbincangkan akar masalah. Yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka kesakitan. Rasa tersiksa itu disebabkan seseorang telah menyentuh luka mereka, entah dengan cara apa. Mereka selalu memandang dirinya sebagai korban. Rasanya pedih. Dan bagi mereka, orang-oranglah yang salah. Selesai.

Lebih lanjut, orang terluka tak terlalu suka belajar dari orang lain. Itu akibat dari menganggap bahwa orang lain bersalah dan menyakiti dirinya. Dia juga enggan bertindak. Dia tak bergairah melakukan sesuatu untuk menghadapi berbagai masalahnya dan memecahkannya. Ya, karena dia menganggap semua ini bukan salahnya. Seharusnya orang lain yang telah menyakitinya itu yang bertindak terlebih dahulu. Seharusnya mereka yang meminta maaf. Seharusnya mereka yang memberi hadiah. Seharusnya mereka yang mengerjakan tugas. Seharusnya mereka yang menanggung biaya. Seharusnya mereka.

Begitulah. Apakah kita termasuk orang-orang yang terluka?

Ustadz Salim A. Fillah

“Dalam Dekapan Ukhuwah”
Posted by Unknown On 19.03 No comments READ FULL POST

Kamis, 08 Januari 2015

Sempat kaget mendengar pernyataan ibu di depan saya. Katanya, kejadian ini memang sudah sering
terjadi di daerahnya, dan ini menjadi kebiasaan. Kata "kebiasaan" yang mungkin terucap sebagai
tanda pasrah sehingga baginya bukan menjadi hal yang patut diherankan lagi. Kata "kebiasaan" yang terdengar di telinga saya seperti kalimat, "Ya sudah, biarkan saja!" Saya salah mengira? Entahlah. Saya hanya bisa menatap beberapa meter tanda di tembok rumah yang kini mereka sebut "dapur umum".

"Yah...kalau mau dibilang musibah, ini memang musibah, tapi..." Volume suaranya mengecil, matanya melirik ke sekitar, seakan takut ketahuan.
"Ini memang karena ulah warganya sih, kebiasaan buang sampah sembarang! Apalagi itu tuh pokok. Iihh... Neng...!" Sambungnya bergidik sendiri.
"Em...memang tidak ada tempat pembuangan sampah umum, Bu?" Tanya saya heran.
"Nggak ada Neng. Yah, beberapa orang yang sadar memang punya inisiatif untuk ngurus sampahnya sendiri."
"Maksudnya Bu?"
"Iya, dibakar Neng"
"Oohh..."
"Tapi kebanyakan ya itu, buangnya sembarangan. Padahal kan ada beberapa sampah yang sulit hancur, kayak itu tuh popok. Iih..." Bergidik lagi.
"Udah pernah dibicarakan dengan Pak RT atau Pak RW nggak Bu?" Saya antusias.
Beliau hanya tersenyum, yang kali ini juga tidak saya mengerti maksudnya. Sudahlah! Saya putuskan untuk tidak lagi menduga.

Saya hanya terus berpikir, bagaimana bisa beberapa meter ini menjadi kebiasaan warga? Sungguh kebiasaan yang tidak biasa! Sesuatu yang harusnya dihindari malah dapat pemakluman.

"Adik-adik tahu tidak, kenapa bisa terjadi banjir?" Saya bertanya kepada sekumpulan anak di dalam mesjid.
"Karena buang sampah sembarangan!" Jawab mereka kompak.
"Terus, yang suka buang sampah siapa?"
Mereka saling menunjukan, "Ini teh! Ini teh!" Terlihat seorang anak yang sibuk memunguti remah-remah biskuit yang berhamburan di karpet.
"Nah, di mesjid mah nggak boleh buang sampah sembarangan! Di luar juga!" Saya tersenyum.
"Sampah apa yang suka ada kalau banjir?"
Beberapa anak antusias menjawab berbarengan, menyebutkan plastik, dan lain-lain.
"Anak-anak yang pintar, cuma mungkin mereka hanya perlu diarahkan." Saya dalam hati.

"Ah, mau pindah kemana juga Neng! Rumah ya di sini ini. Susah kalau mau pindah mah." Kata seorang ibu lain ketika teman saya bertanya, kenapa beliau masih bertahan di lingkungan ini.
"Iya, susah adaptasinya lagi yah Bu? Apalagi nyari tetangga yang pas." Sergah saya mengingat ibu-ibu di daerah ini memang terlihat ramah dan kompak.
"Iya Neng, itu apalagi, susah....!" Beliau tersenyum.

Lantas ketika akan pulang, ibu tersebut mengantar kami. Si Ibu bercerita bahwa dulu, tidak pernah ada banjir. Kawasan ini dulunya masih hijau, tidak seperti sekarang yang dikelilingi pabrik dan perumahan. Banjir memang seringkali bertandang di kawasan Kamasan Kec. Banjaran ini, sehingga satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah dengan naik ke lantai 2 rumah beserta seluruh perabotan rumah.
"Terus, yang nggak punya lantai 2, bagaimana Bu?" Sambil melewati beberapa rumah yang terlihat sangat memperihatinkan.
"Ya, ngungsi ke depan Neng!" Katanya, menunjuk perumahan depan.

Beberapa cuplikan kejadian hari itu masih lekat diingatan saya, memberikan gambaran jelas bagaimana sesuatu yang buruk yang dibiasakan maka akan "dimaklumi". Tidak, tidak perlu menduga tersebab faktor A, B, C, dan seterusnya! Sudah cukup kita saling menyalahkan! Yang perlu kita lakukan hanya perubahan, just it!

Tak perlu jauh-jauh! Karena boleh jadi, kejadian serupa akan terjadi di lingkungan kita juga beberapa saat ke depan, karena ulah tangan kita sendiri. Pada hakikatnya, kesadaran-lah hal yang paling dibutuhkan, tapi tidak hanya berhenti sampai level sadar saja, melainkan perlu pergerakan untuk benar-benar menciptakan perubahan.

JANGAN MEMBUANG SAMPAH SEMBARANGAN! Sedari kecil kita sudah tahu itu, semoga bisa benar-benar kita terapkan.

"Enak nggak kalau banjir seperti ini?" Tanya saya kepada anak-anak lagi.
"Enaaaakkk...!" Kata mereka serepempak.
Tawa saya pecah, toh memang dipikiran anak-anak yang polos begini, selalu ada sisi menarik dari setiap kejadian, termasuk banjir seperti ini, menjadi peluang bagi mereka untuk bisa puas main air. Tapi, apakah kita-kita yang sudah dewasa ini juga berpikiran yang sama? Semoga tidak! Karena saya rasa, tidak perlu saya paparkan lagi ketidakenakan dari main air hasil banjir. Lagipula, iya gitu kita masih niat main air? Depan umum? Haha.

Terakhir, "Kebersihan adalah sebagian dari iman", semoga pemahaman kata-kata ini juga sampai merasuk ke hati-hati kita untuk kemudian berbuah menjadi perbuatan. Lantas di kemudian hari, semoga kita bukan hanya bisa menjadi penggerak diri kita sendiri untuk dapat melestarikan kebersihan, tapi juga di lingkungan serta masyarakat luas. Dan tentunya, semoga kita semua terhindar dari "Beberapa Meter Kebiasaan" ini.


#Terima kasih kepada semua pihak terkait yang membantu gerakan pembersihan dan pembenahan kembali daerah ini. Semoga amal kebaikannya di terima di sisi-Nya. aamiin.


Oleh Rifa'atul Mahmudah

Posted by Unknown On 18.06 No comments READ FULL POST

Selasa, 06 Januari 2015

Cerita lama tapi karena lagi kangen pengen naik gunung lagi, jadi pengen nulis pengalaman pas kesana. ^_^

21-22 Juni 2014 lalu beberapa anggota kita SSG 26 berangkat ke Papandayan-Garut dengan beberapa teman-teman dari SSG 27. SSG 26 yang ikutan mendaki ada Kg Ari alias ChieLunk sebagai Ketua Panitia, Kg Fudin, Miming, Teh Tri, Teh Miftha, Teh Farida, Teh Yuni, Teh Aul, Teh Lilis, Teh Drian dan Teh Debi.


Berhubung ini adalah pendakian pertama bagi saya, jadi benar-benar sangat berkesan. WONDERFULL DAY. Meskipun saya yakin, pendakian kedua ketiga dan seterusnyapun pastilah sebuah pendakian yang penuh kesan juga. Kenapa tidak, setelah lelah menyusuri jalur dengan beban di pundak kemudian kita disuguhi eloknya pemandangan alam dari ketinggian. Subhanallah

Berangkat ke Garut, nyarter angkot. Kita berangkat dari DT, ngumpul dari jam 6 akhirnya berangkat jam8 pagi. Desak-desakkan dengan ransel, hehe. Nice trip.

Yeyyy, beberapa jam perjalanan akhirnya sampai di pemberhentian pertama. Disini janjian ketemu Aulia, kemudian kami berganti angkutan khusus ke titik pendakian pertama Papandayan.


Setelah shalat, BERANGKAAAAAAT….


Ngomongin soal foto-foto perjalanan, emang yang sering kejepret hanyalah para bidadari ini, para bidadara yang Cuma 2 orang ibarat penunjuk jalan dan pengawal perjalanan. Hehe Yang satu jalan di paling depan yang satu paling belakang. Dan berhubung mereka udah pernah ke Papandayan sebelumnya jadi gak senarsis akhwat-akhwat ini. Mereka rela jadi fotografer dari awal sampai akhir. Kang Fudin nyusul kita besoknya ke lokasi kemping, jadi ikhwan yang dari awal ikut perjalanan bareng adalah Kg Ari dan Kg Ibut (SSG 27).

Seperti yang dilihat, trek ke Papandayan sangat cocok buat pemula. Jarak tidak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan 3 jam perjalanan cukup santai dan tidak terlalu nanjak juga jalannya. Nice lah, bolehlaaah. Masa gak bisa, wong anak SD aja banyak yang mendaki Papandayan bareng keluarganya.



Foto di bawah ini, masih separoh perjalanan nih Ssahabat, tapi alam sudah memanjakan mata dengan pemandangannya…


Menjelang Maghrib, akhirnya sampai juga di Pondok Selada tempat tenda bakal digelar. Dan, Subhanallah yang lagi mendaki ternyata ratusan hampir seribuan malah kata Mang-Mang yang jaga di bawah.
Mulailah “merakit” tenda…



Malam itu berlalu dengan guyuran hujan lebat…

22 Juni 2014
Keesokan harinya…
Kami melanjutkan pendakian ke atas, mau liat Edelweis ceritanya… Perjalanannya melewati hutan mati. Check it out!


Sibuk deh foto-foto sama matahari terbit di lokasi Hutan Mati.



Kelamaan nih di Hutan Matinya, gara-gara FOTO-FOTO


Okeh kita lanjut lagi perjalanan menuju Edelweisnya…



Dan akhirnya sampai juga…


Edelweisnya belum mekar, tapi sudah mulai berbunga…


Setelah puas, kita turun lagi dan masak buat makan siang lalu bersiap turun lagi ke bawah. Bandung we are Coming.


Ngomong-ngomong, di lokasi kemping ini ada yang jualan cilok loh. Hehe. Baso, tahu sumedang. Ah, melihat sendiri perjuangan bapak-bapak dan aa-aa nya ngebawa tandu jualan ke atas itu Subhanallah banget.


Pulaaaaaaang …


Oleh : Miming Murti Karlina
Posted by Unknown On 03.28 No comments READ FULL POST
Naik turunnya semangat seringkali terjadi dalam keseharian kita. Tidak hanya dalam kehidupan pribadi tetapi juga terjadi dalam perjalanan sebuah keluarga, sebuah organisasi, bahkan sebuah Negara sekalipun. Mulai dari perkara kecil bahkan sepele sampai pada perkara besar yang menyangkut kepentingan orang banyak. Naik turunnya semangat ini adalah sebuah kewajaran yang akan dialami siapa saja dimana saja. Yang membedakannya adalah bagaimana individu itu mengatasai masa-masa turunnya semangat.

Sebelum kita membahas apa saja yang dapat kita lakukan untuk mengatasi terjadinya turun semangat, yuk kita lihat dulu apa saja penyebabnya. Turun semangat dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1. Tidak adanya teman untuk sama-sama berjuang dan saling mengingatkan.
2. Terjebak dalam rutininas yang monoton dan tidak ada variasi sehingga menyebabkan jenuh.
3. Masalah “berat” yang sedang menimpa diri.
4. Kurang meluangkan waktu untuk menghibur –menyenangkan- diri alias refreshing time.
5. Kurang meng-upgrade diri, meningkatkan kualitas diri.
6. Delele.

Dalam dakwah, juga terjadi naik turunnya semangat. Yang kemudian ketimbang mengevaluasi penyebab yang datangnya dari eksternal, alangkah lebih baiknya kita evaluasi terlebih dahulu penyebab internalnya, yaitu FUTUR. Futur adalah kondisi dimana keimanan kita sedang berada dalam fase turun. Dan hal utama yang menyebabkan futur adalah dosa atau maksiat yang kita lakukan. Kemudian didukung oleh-oleh faktor eksternal seperti yang disebutkan dalam poin-poin di atas.

Lalu hal-hal apa saja yang dapat kita lakukan untuk mengatasi futur atau turun semangat? Check it out!
1. Muhasabah
2. Taubat dari segala dosa
3. Mencari ilmu dan memperluas wawasan
4. Mengerjakan amalan-amalan iman
5. Memperhatikan aspek-aspek moral
6. Terlibat dalam aktivitas dakwah
7. Mujahadah
8. Berdoa dengan jujur kepada Allah Ta’ala

Kedelapan poin ini dapat sahabat-sahabat baca selengkapnya di buku Tarbiyah Dzatiyah (Abdullah bin Abdul Aziz Al-Aidan), karena yang akan saya kutip hanya poin ke enam.
Terlibat Dalam Aktivitas Dakwah 
a. Merasakan kewajiban dakwah
Dakwah itu hukumnya wajib, orang Muslim tidak punya alasan dan pilihan selain mengerjakannya. Dengan catatan, yaitu semuanya sesuai dengan kadar ilmu, kondisi dan potensinya
Hal ini dapat kita ketahui salah satunya dari sabda Rasulullah yang artinya : “Barangsiapa salah seorang diantara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak dapat merubahnya dengan tangannya, hendaklah ia merubah dengan lidahnya. Jika ia tidak dapat merubah dengan lidahnya, hendaklah ia merubah dengan hatinya dan itulah iman yang paling lemah.”(HR. Muslim)
b. Menggunakan setiap kesempatan untuk berdakwah
c. Terus menerus dan tidak berhenti di tengah jalan
Sedikit namun terus menerus itu lebih baik, daripada banyak namun terputus di tengah jalan. Inilah prinsip utama dakwah.
d. Pintu-pintu dakwah itu banyak
Dakwah itu bisa dilakukan dengan banyak hal tidak melulu dengan ceramah. Misalnya senyum dengan jujur, perkataan yang baik, memberi hadiah, buku, kaset, pelajaran, ceramah, dan lain sebagainya.
e. Kerjasama dengan pihak lain

Rasanya kalau saya berpanjang-panjang disini, serasa malu karena maqomnya jauuuuuh masih di bawah untuk cas cis cus ces cos. Tapi mengingat kondisi angkatan kita yang sepertinya sedang dalam fase turun semangat dan bikin semua pada menghilang dan tak muncul lagi ke permukaan, saya rasa ini menjadi salah satu pertimbangan kenapa tema bangkit kembali dimunculkan. Hayu ah kawan kita bangkit kembali. Yuk eratkan lagi “pegangan tangan” kita dalam berjuang di jalan dakwah ini. Sekecil apapun, tak ada yang sia-sia. Partisipasi dan kontribusi dari jauh atau terlibat langsung, semuanya pasti ada balasannya dari Allah. Yuk ngumpul lagi, yuk merencanakan kegiatan lagi, yuk bikin kegiatan lagi. Yuk ah bareng-bareng, jalin lagi silaturahim yang terputus. Kita hubungi lagi teman-teman yang barangkali karena sudah lama tak muncul kemudian menjadi malu atau tak enak hati ingin bergabung lagi. 

Kita berbicara angkatan bukan untuk eksklusif, bukan untuk memecah belah tapi lebih mudah untuk saling mendekatkan diri dengan cara ini untuk kemudian bergerak demi kepentingan yang lebih besar. Insya Allah.


Oleh : Miming Murti Karlina
Posted by Unknown On 02.39 No comments READ FULL POST

Beberapa hari terakhir ini perusahaan-perusahan telekomunikasi mulai gencar memasarkan produknya dengan embel-embel menggunakan layanan LTE, 4G atau 4G LTE. Mereka mengklaim kecepatan internet yang sangat cepat akan kita dapatkan ketika menggunakan jaringan ini. Sebagai konsumen tentu saja kita senang dengan hal ini, apalagi jika dibarengi dengan penurunan tarif. *ngarep

FYI, LTE merupakan singkatan dari Long-Term Evolution, umumnya lebih kita kenal dengan sebutan 4G. LTE pada dasarnya merupakan pengembangan dari teknologi jaringan GSM/EDGE dan UMTS/HSPA dengan penambahan kapasitas, kecepatan dan penggunaan frekuensi radio yang berbeda. Dalam pengembangannya LTE dikembangkan oleh 3GPP (3rd Generation Partnertship Project).

Disebut-sebut memiliki kecepatan yang sangat cepat karena secara teoritis LTE memiliki downlink maksimal 300Mbps dan uplink maksimal 75Mbps. Karena 1 byte = 8 bit maka akan diperoleh kecepatan download dan upload maksimal 37,5 MB/s dan 9,375 MB/s. Dengan kecepatan seperti itu kita dapat men-download file berukuran 100MB hanya dalam 3 detik. Kemudian tak akan lebih dari 20 detik waktu yang diperlukan untuk meng-upload kembali file tersebut ke internet.

Di Indonesia tercatat sejumlah operator seluler belum lama ini telah meluncurkan layanan 4G LTE, diantaranya adalah Telkomsel, Indosat, dan XL. Namun sayangnya layanan ini belum mencakup seluruh wilayah di Indonesia. Sementara ini 4G LTE hanya dapat dinikmati di beberapa kota-kota besar. Jadi ketika ingin menggunakan jaringan 4G LTE pastikan bahwa daerah kita merupakan daerah yang telah ter-cover. Selain itu pastikan pula bahwa perangkat yang kita gunakan telah mendukung layanan 4G LTE.

Dengan layanan 4G LTE diharapkan dapat mengatasi tingginya permintaan internet dengan kecepatan tinggi. Kemudian dengan seiring berjalanannya waktu kita berharap layanan ini dapat menjangkau seluruh pelosok dari Sabang sampai Merauke. Sehingga penduduk Indonesia dimanapun tempat tinggalnya dapat menikmati Internet berkecepatan tinggi layaknya di kota-kota besar. Amiin.


Oleh : Rizqy Nurhaqy

Posted by Unknown On 02.17 No comments READ FULL POST
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube