Senin, 06 April 2015


“Sesungguhnya manusia pertama yang akan diadili pada Hari Kiamat,” demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits riwayat Imam Muslim, Ahmad, dan An-Nasa’i, “adalah orang yang mati syahid di jalan Allah.”

“Dia akan didatangkan, dihadapkan, dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat Allah yang di anugerahkan padanya di dunia,” lanjut beliau, “Lalu dia pun mengenali dan mengakuinya. Bertanyalah Rabb kita ‘Azza wa Jalla kepadanya, ‘Amal apakah yang kau kerjakan dengan nikmat-nikmat-Ku itu, wahai hamba-Ku?’ Dia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid di jalan-Mu, Ya Rabbi,’ Allah berfirman, ‘Dusta! Kamu berperang dengan niat agar dikatakan sebagai seorang gagah berani. Kau telah mendapatkannya, memang demikianlah yang dikatakan manusia tentang dirimu.’ Kemudian diperintahkan agar dia diseret pada mukanya. Lalu dia dilemparkan ke dalam neraka.”

“Manusia berikutnya yang akan dihakimi,” sambung beliau Sang Nabi, “adalah seorang yang membaca Al-Qur’an, mempelajari ilmu, serta mengajarkannya. Dia akan didatangkan, dihadapkan, dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Maka dia pun mengenali dan mengakuinya. Bertanyalah Rabb kita ‘Azza wa Jalla kepadanya, ‘Amal apakah yang kau kerjakan dengan nikmat-nikmat-Ku itu, wahai hamba-Ku?’ Dia menjawab, ‘Aku membaca Al-Qur’an, mempelajari ilmu, serta mengajarkannya semata-mata karena Engkau, Ya Rabbi.’ Allah berfirman, ‘Dusta! Kamu menuntut ilmu agar dikatakan sebagai seorang qari’. Kau telah mendapatkannya, memang begitulah yang dikatakan manusia tentang dirimu.’ Kemudian diperintahkan agar dia diseret pada mukanya. Lalu dia dilemparkan ke dalam neraka.”

“Manusia terkemudian yang akan dimahkamahkan,” pungkas Al-Habib Shallallahu ‘Alaihi wa Salla, “adalah seorang yang dilimpahi rizqi dan berbagai macam harta benda. Dia akan didatangkan, dihadapkan, dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Maka dia pun mengenali dan mengakuinya. Bertanyalah Rabb kita ‘Azza wa Jalla kepadanya, ‘Amal apakah yang kau kerjakan dengan nikmat-nikmat-Ku itu, wahai hamba-Ku?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infak pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena-Mu.” Allah berfirman, ‘Dusta! Kamu berbuat demikian supaya dikatakan sebagai seorang dermawan mulia. Kau telah mendapatkannya, memang begitulah yang dikatakan manusia tentang dirimu.’ Kemudian diperintahkan agar dia diseret pada mukanya. Lalu dia dilemparkan ke dalam neraka.”


Sebab hidup ini adalah ibadah kepada Allah, maka tugas kehambaan kita adalah mengemudi hati menujuNya. Di dalam hati itu, jaminan keselamatan dunia dan akhirat kita bernama keikhlasan. Dan betapa beratnya mengendalikan hati agar ia ikhlas kepada Allah.

Goda-goda untuk memuliakan diri di hadapan manusia dengan amal-amal kita, terus dihembuskan oleh hawa dan dinyalakan oleh syaitan. Amat besar gelora dalam dada agar amal dilihat, didengar,, dikisahkan, dipanggungkan, dan ditayangkan. Amat tinggi hasrat dalam hati agar diri ditakjubi, dipuji, dan dianggap tinggi.

Padahal para pendahulu kita yang shalih lebih memilih untuk menutup rapat-rapat keshalihannya dari indra manusia. Mereka tidak mengizinkan kemesraannya dengan Allah dilihat dan didengar serta ditakjubi dan dipuji oleh sesama. Mereka berjuang untuk merahasiakan amalnya, sekeras upaya mereka untuk beramal itu sendiri.

Demikianlah, “Tidak sempurna suatu amal baik kecuali dengan tiga perkara,” ujar Imam Ja’far Ash-Shadiq kepada Imam Sufyan Ats-Tsauri Rahimahumallah, “yaitu menyegerakannya, mengganggpanya kecil, dan merahasiakannya.”


Sumber :
“Lapis-Lapis Keberkahan” oleh Ust. Salim A. Fillah
Posted by Unknown On 17.12 No comments

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube