“Sesungguhnya manusia pertama yang akan diadili pada Hari Kiamat,” demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits riwayat Imam Muslim, Ahmad, dan An-Nasa’i, “adalah orang yang mati syahid di jalan Allah.”
“Dia akan
didatangkan, dihadapkan, dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat Allah yang di
anugerahkan padanya di dunia,” lanjut beliau, “Lalu dia pun mengenali dan
mengakuinya. Bertanyalah Rabb kita ‘Azza
wa Jalla kepadanya, ‘Amal apakah yang kau kerjakan dengan nikmat-nikmat-Ku
itu, wahai hamba-Ku?’ Dia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau
sehingga aku mati syahid di jalan-Mu, Ya Rabbi,’ Allah berfirman, ‘Dusta! Kamu
berperang dengan niat agar dikatakan sebagai seorang gagah berani. Kau telah
mendapatkannya, memang demikianlah yang dikatakan manusia tentang dirimu.’
Kemudian diperintahkan agar dia diseret pada mukanya. Lalu dia dilemparkan ke
dalam neraka.”
“Manusia
berikutnya yang akan dihakimi,” sambung beliau Sang Nabi, “adalah seorang yang
membaca Al-Qur’an, mempelajari ilmu, serta mengajarkannya. Dia akan
didatangkan, dihadapkan, dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah Allah
anugerahkan kepadanya. Maka dia pun mengenali dan mengakuinya. Bertanyalah Rabb
kita ‘Azza wa Jalla kepadanya, ‘Amal
apakah yang kau kerjakan dengan nikmat-nikmat-Ku itu, wahai hamba-Ku?’ Dia
menjawab, ‘Aku membaca Al-Qur’an, mempelajari ilmu, serta mengajarkannya semata-mata
karena Engkau, Ya Rabbi.’ Allah berfirman, ‘Dusta! Kamu menuntut ilmu agar
dikatakan sebagai seorang qari’. Kau telah mendapatkannya, memang begitulah
yang dikatakan manusia tentang dirimu.’ Kemudian diperintahkan agar dia diseret
pada mukanya. Lalu dia dilemparkan ke dalam neraka.”
“Manusia
terkemudian yang akan dimahkamahkan,” pungkas Al-Habib Shallallahu ‘Alaihi wa Salla, “adalah seorang yang dilimpahi rizqi
dan berbagai macam harta benda. Dia akan didatangkan, dihadapkan, dan diperlihatkan
kepadanya nikmat-nikmat yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Maka dia pun
mengenali dan mengakuinya. Bertanyalah Rabb kita ‘Azza wa Jalla kepadanya, ‘Amal apakah yang kau kerjakan dengan
nikmat-nikmat-Ku itu, wahai hamba-Ku?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak pernah
meninggalkan shadaqah dan infak pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti
aku melakukannya semata-mata karena-Mu.” Allah berfirman, ‘Dusta! Kamu berbuat
demikian supaya dikatakan sebagai seorang dermawan mulia. Kau telah
mendapatkannya, memang begitulah yang dikatakan manusia tentang dirimu.’ Kemudian
diperintahkan agar dia diseret pada mukanya. Lalu dia dilemparkan ke dalam neraka.”
Sebab hidup
ini adalah ibadah kepada Allah, maka tugas kehambaan kita adalah mengemudi hati
menujuNya. Di dalam hati itu, jaminan keselamatan dunia dan akhirat kita
bernama keikhlasan. Dan betapa beratnya mengendalikan hati agar ia ikhlas
kepada Allah.
Goda-goda
untuk memuliakan diri di hadapan manusia dengan amal-amal kita, terus
dihembuskan oleh hawa dan dinyalakan oleh syaitan. Amat besar gelora dalam dada
agar amal dilihat, didengar,, dikisahkan, dipanggungkan, dan ditayangkan. Amat
tinggi hasrat dalam hati agar diri ditakjubi, dipuji, dan dianggap tinggi.
Padahal para
pendahulu kita yang shalih lebih memilih untuk menutup rapat-rapat
keshalihannya dari indra manusia. Mereka tidak mengizinkan kemesraannya dengan
Allah dilihat dan didengar serta ditakjubi dan dipuji oleh sesama. Mereka
berjuang untuk merahasiakan amalnya, sekeras upaya mereka untuk beramal itu
sendiri.
Demikianlah,
“Tidak
sempurna suatu amal baik kecuali dengan tiga perkara,” ujar Imam Ja’far
Ash-Shadiq kepada Imam Sufyan Ats-Tsauri Rahimahumallah,
“yaitu
menyegerakannya, mengganggpanya kecil, dan merahasiakannya.”
Sumber :
“Lapis-Lapis Keberkahan” oleh Ust.
Salim A. Fillah
0 komentar:
Posting Komentar