Seorang gembala suatu hari merauti kayu dengan pisaunya.
Kemarin, tongkat yang biasa dipakainya untuk menghalau dan mengatur ternaknya
patah. Kayu yang disisiki itu adalah bakal tongkat baru.
Di tengah keasyikannya mengukir hiasan pegangan di tongkat
barunya, salah satu dombanya tiba-tiba memekik-mekik. Domba itu melompati
kawanannya dan lengkingannya makin nyaring tiap kali dia menapakkan kakinya ke
tanah. Kawanan domba itu kisruh kalang kabut, sementara si pembuat onar terus
mengacau. Dalam keriuhan, larinya kian cepat. Akhirnya dia menghambur menubruk
tuannya dengan jerit menyayat hati. Sang gembala terpelanting kaget. Pisau di
tangannya terlempar dan seraut serat kayu menghujam menyusup ke dalam jari
telunjuknya.
Sang domba terguling-guling, lalu bangkit. Lalu tenang. Dia
mulai berjalan lagi, sedikit pincang, namun tak lagi kesetanan. Sang gembala
marah dan menghalau dengan pukulan. Dia tak tahu penyebab kehebohan barusan.
Dia tak sadar bahwa sebuah paku berkarat yang tadi menancap di kaki sang domba
kini tergeletak di dekatnya.
Dan dia meraut lagi. Tak peduli pada telusuk kayu yang
merasuki jarinya. Pasti sakit jika dicabut, pikirnya. Biarkan saja.
Hari berganti dan selusup itu mulai membuat jarinya bengkak,
meradang, dan menggembung nyeri. Sakit sekali. Dia berteriak mengaduh tiap kali
sesuatu menyentuhnya. Bahkan tiap kali berjabat tangan dengan rekan, dia
meringis kesakitan, marah, dan menumpah serapahi mereka.
“Aw...sakit sekali!!” Jeritnya.
Orang terluka, seperti cerita tentang gembala ini, merasa
sakit bukan karena apa yang sedang terjadi di luar memang menyakitkan. Dia
merasakan sakit itu karena dia sedang terluka. Lalu mereka menanggapi di luar
batas kewajaran, melebih-lebihkan, dan bertingkah dengan rasa terancam yang
begitu tinggi.
“Kau tahu John, orang terluka melukai orang lain. Ketika
seseorang mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyakitkan, kau perlu
memeriksanya lebih dalam. Kau perlu melihat hingga ke bawah permukaan.” Seorang
kawan berujar kepada John C. Maxwell dalam Winning
with People.
“Mereka menyangka tiap teriakan keras ditujukan pada mereka.”
(Qs. Al-Munafiqun: 4)
Kesalahan terbesar dari orang-orang yang terluka adalah mereka tak
segera menyembuhkan luka lamanya. Telusuk yang menganggu itu dibiarkan.
Jadilah orang-orang yang terluka itu sebagai mereka yang enggan berubah. Dia
memilih menikmati lukanya. Dia merawat baik-baik telusuk itu agar tetap berada
di dalam kulitnya. Dia kian kemari menampilkan kesakitannya dengan segala cara.
“Orang yang terluka,” kata John C. Maxwell, “Juga
sulit menerima kegagalan.” Semua ketidakberesan dalam hidup yang
sebenarnya bersumber dari lukanya tak disikapi sebagai pelajaran berharga. Dia
selalu menemukan orang, pihak, kelompok, benda atau apapun yang menurutnya telah
menjadi sebab dari segala kepahitan. Telusuk itu masih ada di sana, mengeram
dalam diam namun mendatangkan kuman-kuman. Tapi tiap orang yang menyalaminya
dituduh sebagai sumber siksaan. “Kalian menyakitiku,” erangnya.
Orang terluka kurang suka membahas persoalan. Mereka tak
tertarik untuk memperbincangkan akar masalah. Yang mereka tahu hanyalah bahwa
mereka kesakitan. Rasa tersiksa itu disebabkan seseorang telah menyentuh luka
mereka, entah dengan cara apa. Mereka selalu memandang dirinya sebagai korban.
Rasanya pedih. Dan bagi mereka, orang-oranglah yang salah. Selesai.
Lebih lanjut, orang terluka tak terlalu suka belajar dari
orang lain. Itu akibat dari menganggap bahwa orang lain bersalah dan
menyakiti dirinya. Dia juga enggan bertindak. Dia tak bergairah melakukan
sesuatu untuk menghadapi berbagai masalahnya dan memecahkannya. Ya, karena dia
menganggap semua ini bukan salahnya. Seharusnya orang lain yang telah
menyakitinya itu yang bertindak terlebih dahulu. Seharusnya mereka yang meminta
maaf. Seharusnya mereka yang memberi hadiah. Seharusnya mereka yang mengerjakan
tugas. Seharusnya mereka yang menanggung biaya. Seharusnya mereka.
Begitulah. Apakah
kita termasuk orang-orang yang terluka?
Ustadz Salim A. Fillah
“Dalam Dekapan Ukhuwah”
0 komentar:
Posting Komentar