Sabtu, 04 April 2015

Seorang gembala suatu hari merauti kayu dengan pisaunya. Kemarin, tongkat yang biasa dipakainya untuk menghalau dan mengatur ternaknya patah. Kayu yang disisiki itu adalah bakal tongkat baru.

Di tengah keasyikannya mengukir hiasan pegangan di tongkat barunya, salah satu dombanya tiba-tiba memekik-mekik. Domba itu melompati kawanannya dan lengkingannya makin nyaring tiap kali dia menapakkan kakinya ke tanah. Kawanan domba itu kisruh kalang kabut, sementara si pembuat onar terus mengacau. Dalam keriuhan, larinya kian cepat. Akhirnya dia menghambur menubruk tuannya dengan jerit menyayat hati. Sang gembala terpelanting kaget. Pisau di tangannya terlempar dan seraut serat kayu menghujam menyusup ke dalam jari telunjuknya.

Sang domba terguling-guling, lalu bangkit. Lalu tenang. Dia mulai berjalan lagi, sedikit pincang, namun tak lagi kesetanan. Sang gembala marah dan menghalau dengan pukulan. Dia tak tahu penyebab kehebohan barusan. Dia tak sadar bahwa sebuah paku berkarat yang tadi menancap di kaki sang domba kini tergeletak di dekatnya.

Dan dia meraut lagi. Tak peduli pada telusuk kayu yang merasuki jarinya. Pasti sakit jika dicabut, pikirnya. Biarkan saja.

Hari berganti dan selusup itu mulai membuat jarinya bengkak, meradang, dan menggembung nyeri. Sakit sekali. Dia berteriak mengaduh tiap kali sesuatu menyentuhnya. Bahkan tiap kali berjabat tangan dengan rekan, dia meringis kesakitan, marah, dan menumpah serapahi mereka.

“Aw...sakit sekali!!” Jeritnya.


Orang terluka, seperti cerita tentang gembala ini, merasa sakit bukan karena apa yang sedang terjadi di luar memang menyakitkan. Dia merasakan sakit itu karena dia sedang terluka. Lalu mereka menanggapi di luar batas kewajaran, melebih-lebihkan, dan bertingkah dengan rasa terancam yang begitu tinggi.

“Kau tahu John, orang terluka melukai orang lain. Ketika seseorang mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyakitkan, kau perlu memeriksanya lebih dalam. Kau perlu melihat hingga ke bawah permukaan.” Seorang kawan berujar kepada John C. Maxwell dalam Winning with People.

“Mereka menyangka tiap teriakan keras ditujukan pada mereka.” (Qs. Al-Munafiqun: 4)

Kesalahan terbesar dari orang-orang yang terluka adalah mereka tak segera menyembuhkan luka lamanya. Telusuk yang menganggu itu dibiarkan. Jadilah orang-orang yang terluka itu sebagai mereka yang enggan berubah. Dia memilih menikmati lukanya. Dia merawat baik-baik telusuk itu agar tetap berada di dalam kulitnya. Dia kian kemari menampilkan kesakitannya dengan segala cara.

“Orang yang terluka,” kata John C. Maxwell, “Juga sulit menerima kegagalan.” Semua ketidakberesan dalam hidup yang sebenarnya bersumber dari lukanya tak disikapi sebagai pelajaran berharga. Dia selalu menemukan orang, pihak, kelompok, benda atau apapun yang menurutnya telah menjadi sebab dari segala kepahitan. Telusuk itu masih ada di sana, mengeram dalam diam namun mendatangkan kuman-kuman. Tapi tiap orang yang menyalaminya dituduh sebagai sumber siksaan. “Kalian menyakitiku,” erangnya.

Orang terluka kurang suka membahas persoalan. Mereka tak tertarik untuk memperbincangkan akar masalah. Yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka kesakitan. Rasa tersiksa itu disebabkan seseorang telah menyentuh luka mereka, entah dengan cara apa. Mereka selalu memandang dirinya sebagai korban. Rasanya pedih. Dan bagi mereka, orang-oranglah yang salah. Selesai.

Lebih lanjut, orang terluka tak terlalu suka belajar dari orang lain. Itu akibat dari menganggap bahwa orang lain bersalah dan menyakiti dirinya. Dia juga enggan bertindak. Dia tak bergairah melakukan sesuatu untuk menghadapi berbagai masalahnya dan memecahkannya. Ya, karena dia menganggap semua ini bukan salahnya. Seharusnya orang lain yang telah menyakitinya itu yang bertindak terlebih dahulu. Seharusnya mereka yang meminta maaf. Seharusnya mereka yang memberi hadiah. Seharusnya mereka yang mengerjakan tugas. Seharusnya mereka yang menanggung biaya. Seharusnya mereka.

Begitulah. Apakah kita termasuk orang-orang yang terluka?

Ustadz Salim A. Fillah

“Dalam Dekapan Ukhuwah”
Posted by Unknown On 19.03 No comments

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube