Mari sejenak kita temui seorang lelaki yang menua dalam darmanya sebagai rasul. Sepanjang ruahan bakti pada Ilahi itu, terselip satu penantian. Tak juga hadir sesosok kecil yang akan memanggil, “Ayah!” Tak juga wujud si mungil yang akan naik ke punggung dan menjadikannya tunggangan keliling ruang. Harapannya untuk memiliki pelanjut agama Allah yang lurus dari sulbinya telah lama digayutkan di langit dengan temali do’a. Harapan itu tak pernah hilang. Hingga ketika rambutnya memutih, Ibrahim pun menuai buah kesabaran dan baik sangkanya pada Sang Pencipta. Lahirlah Isma’il, seorang putra yang santun, amat sabar, dan bijaksana.
Lalu
bayangkanlah ketika sang ayah, yang menyayangi putranya bagai kakek menggayun
cucu itu diperintahkan meninggalkan si bayi merah dan ibunya di padang gersang
tak bertanaman. Allah yang memberinya kesabaran menanti. Allah yang beberapa
cecah di depan mengaruniakan sang buah hati. Allah yang memerintahkan agar
mereka berpisah kini. Berpisah tanpa janji untuk berjumpa lagi. Ringankah itu
bagi Ibrahim?
Jawaban
sejatinya adalah, “Tidak”.
Dan
bayangkan, seorang ayah yang tak menyaksikan bagaimana tumbuh kembang putranya,
lalu ketika anak itu sampai pada umur sanggup membantu kerja-kerjanya, ia
didatangi mimpi sejati tiga malam berulang turut. Sebuah gambar yang jelas,
sebuah tayangan yang tak bisa di lain tafsir. Ia menyembelih Isma’il. Dan itu
perintah. Sesudah penantian, ada kelahiran sekaligus perpisahan. Sesudah
perpisahan ada pertemuan, lalu perintah membunuh sang pengobat rindu. Dengan
tangannya sendiri. Ringankah itu bagi Ibrahim?
Jawaban
sejatinya adalah, “Tidak”.
Banyak orang
beranggapan bahwa ikhlas itu harus ditandai rasa ringan dalam mengerjakannya.
Jika terasa menyesak dalam dada dan terbeban dalam jiwa, demikian pendapat
mereka, maka belumlah ikhlas namanya. Pada keadaan tertentu, dan ini tidak
banyak, mungkin dianggap benar. Namun, dalam banyak hal ia tidak tepat. Bahkan
fahaman ini bermasalah ketika membuat kita tak jadi beramal karena khawatir
tidak ikhlas ketika telah terasa bahwa amal yang dititahkan memang berat
adanya.
Mari
saksikan Ibrahim yang merasa berat dalam banyak titik ujian penting di hidupnya.
Tapi terasa berat itu ternyata tak menjadi ukuran bagi keikhlasannya. Ibrahim
tentu saja ikhlas. Bahkan sangat ikhlas. Dan dialah salah satu makhluq
terikhlas yang pernah tampil di pentas bumi. Keikhlasan memang tak selalu
tumbuh dari rasa ringan dalam melaksanakan perintah. Ikhlas bisa saja tumbuh
dari kerja-kerja berat mengalahkan nafsu diri. Pengorbanan. Begitu kita
menyebutnya.
“Berangkatlah baik dalam keadaan merasa
ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan
Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(Q.s. At-Taubah: 41)
Tak pantas
kita menghakimi orang-orang yang menampakkan rasa berat di dalam perjuangan.
Justru bisa jadi pahala yang mereka terima jauh lebih besar daripada yang
merasa beramalnya ringan-ringan saja. “Ajruki ‘alaa wadri nashaabik,” kata
Sang Nabi pada ‘Aisyah. “Pahalamu senilai dengan kadar kepayahanmu.”
Dan sejarah tak pernah menafikan bahwa ada orang-orang yang berangkat berjihad
dengan ringan karena merasa justru lepas dari beban-beban keluarga; istri yang
baginya cerewet, anak-anak yang rewel, atau nafkah yang sulit ditata. Begitu
pula, ada yang merasa berat berangkat karena istri yang shalihah, anak-anak
yang qu’rata a’yun, dan rumah sakinah
penuh cinta.
sumber gambar: www.flickr.com |
Maka, alangkah
berharga jika ikhlas tidak dibatasi oleh kesan perasaan sesaat. Ringan atau
berat. Biarkanlah jikapun amalan kita terasa ringan, hingga kita menikmatinya.
Lalu melupakannya agar pahala yang ditetapkan tak terusik lagi. Dan biarkanlah
pula jikapun amalan kita terasa berat. Agar kita menghayatinya, sembari berharap
pahala agung dari sisi-Nya.
Sumber:
“Lapis-Lapis Keberkahan” oleh Ust.
Salim A. Fillah
0 komentar:
Posting Komentar