Kamis, 08 Januari 2015

Sempat kaget mendengar pernyataan ibu di depan saya. Katanya, kejadian ini memang sudah sering
terjadi di daerahnya, dan ini menjadi kebiasaan. Kata "kebiasaan" yang mungkin terucap sebagai
tanda pasrah sehingga baginya bukan menjadi hal yang patut diherankan lagi. Kata "kebiasaan" yang terdengar di telinga saya seperti kalimat, "Ya sudah, biarkan saja!" Saya salah mengira? Entahlah. Saya hanya bisa menatap beberapa meter tanda di tembok rumah yang kini mereka sebut "dapur umum".

"Yah...kalau mau dibilang musibah, ini memang musibah, tapi..." Volume suaranya mengecil, matanya melirik ke sekitar, seakan takut ketahuan.
"Ini memang karena ulah warganya sih, kebiasaan buang sampah sembarang! Apalagi itu tuh pokok. Iihh... Neng...!" Sambungnya bergidik sendiri.
"Em...memang tidak ada tempat pembuangan sampah umum, Bu?" Tanya saya heran.
"Nggak ada Neng. Yah, beberapa orang yang sadar memang punya inisiatif untuk ngurus sampahnya sendiri."
"Maksudnya Bu?"
"Iya, dibakar Neng"
"Oohh..."
"Tapi kebanyakan ya itu, buangnya sembarangan. Padahal kan ada beberapa sampah yang sulit hancur, kayak itu tuh popok. Iih..." Bergidik lagi.
"Udah pernah dibicarakan dengan Pak RT atau Pak RW nggak Bu?" Saya antusias.
Beliau hanya tersenyum, yang kali ini juga tidak saya mengerti maksudnya. Sudahlah! Saya putuskan untuk tidak lagi menduga.

Saya hanya terus berpikir, bagaimana bisa beberapa meter ini menjadi kebiasaan warga? Sungguh kebiasaan yang tidak biasa! Sesuatu yang harusnya dihindari malah dapat pemakluman.

"Adik-adik tahu tidak, kenapa bisa terjadi banjir?" Saya bertanya kepada sekumpulan anak di dalam mesjid.
"Karena buang sampah sembarangan!" Jawab mereka kompak.
"Terus, yang suka buang sampah siapa?"
Mereka saling menunjukan, "Ini teh! Ini teh!" Terlihat seorang anak yang sibuk memunguti remah-remah biskuit yang berhamburan di karpet.
"Nah, di mesjid mah nggak boleh buang sampah sembarangan! Di luar juga!" Saya tersenyum.
"Sampah apa yang suka ada kalau banjir?"
Beberapa anak antusias menjawab berbarengan, menyebutkan plastik, dan lain-lain.
"Anak-anak yang pintar, cuma mungkin mereka hanya perlu diarahkan." Saya dalam hati.

"Ah, mau pindah kemana juga Neng! Rumah ya di sini ini. Susah kalau mau pindah mah." Kata seorang ibu lain ketika teman saya bertanya, kenapa beliau masih bertahan di lingkungan ini.
"Iya, susah adaptasinya lagi yah Bu? Apalagi nyari tetangga yang pas." Sergah saya mengingat ibu-ibu di daerah ini memang terlihat ramah dan kompak.
"Iya Neng, itu apalagi, susah....!" Beliau tersenyum.

Lantas ketika akan pulang, ibu tersebut mengantar kami. Si Ibu bercerita bahwa dulu, tidak pernah ada banjir. Kawasan ini dulunya masih hijau, tidak seperti sekarang yang dikelilingi pabrik dan perumahan. Banjir memang seringkali bertandang di kawasan Kamasan Kec. Banjaran ini, sehingga satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah dengan naik ke lantai 2 rumah beserta seluruh perabotan rumah.
"Terus, yang nggak punya lantai 2, bagaimana Bu?" Sambil melewati beberapa rumah yang terlihat sangat memperihatinkan.
"Ya, ngungsi ke depan Neng!" Katanya, menunjuk perumahan depan.

Beberapa cuplikan kejadian hari itu masih lekat diingatan saya, memberikan gambaran jelas bagaimana sesuatu yang buruk yang dibiasakan maka akan "dimaklumi". Tidak, tidak perlu menduga tersebab faktor A, B, C, dan seterusnya! Sudah cukup kita saling menyalahkan! Yang perlu kita lakukan hanya perubahan, just it!

Tak perlu jauh-jauh! Karena boleh jadi, kejadian serupa akan terjadi di lingkungan kita juga beberapa saat ke depan, karena ulah tangan kita sendiri. Pada hakikatnya, kesadaran-lah hal yang paling dibutuhkan, tapi tidak hanya berhenti sampai level sadar saja, melainkan perlu pergerakan untuk benar-benar menciptakan perubahan.

JANGAN MEMBUANG SAMPAH SEMBARANGAN! Sedari kecil kita sudah tahu itu, semoga bisa benar-benar kita terapkan.

"Enak nggak kalau banjir seperti ini?" Tanya saya kepada anak-anak lagi.
"Enaaaakkk...!" Kata mereka serepempak.
Tawa saya pecah, toh memang dipikiran anak-anak yang polos begini, selalu ada sisi menarik dari setiap kejadian, termasuk banjir seperti ini, menjadi peluang bagi mereka untuk bisa puas main air. Tapi, apakah kita-kita yang sudah dewasa ini juga berpikiran yang sama? Semoga tidak! Karena saya rasa, tidak perlu saya paparkan lagi ketidakenakan dari main air hasil banjir. Lagipula, iya gitu kita masih niat main air? Depan umum? Haha.

Terakhir, "Kebersihan adalah sebagian dari iman", semoga pemahaman kata-kata ini juga sampai merasuk ke hati-hati kita untuk kemudian berbuah menjadi perbuatan. Lantas di kemudian hari, semoga kita bukan hanya bisa menjadi penggerak diri kita sendiri untuk dapat melestarikan kebersihan, tapi juga di lingkungan serta masyarakat luas. Dan tentunya, semoga kita semua terhindar dari "Beberapa Meter Kebiasaan" ini.


#Terima kasih kepada semua pihak terkait yang membantu gerakan pembersihan dan pembenahan kembali daerah ini. Semoga amal kebaikannya di terima di sisi-Nya. aamiin.


Oleh Rifa'atul Mahmudah

Posted by Unknown On 18.06 No comments

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube