Selasa, 07 April 2015


Mari sejenak kita temui seorang lelaki yang menua dalam darmanya sebagai rasul. Sepanjang ruahan bakti pada Ilahi itu, terselip satu penantian. Tak juga hadir sesosok kecil yang akan memanggil, “Ayah!” Tak juga wujud si mungil yang akan naik ke punggung dan menjadikannya tunggangan keliling ruang. Harapannya untuk memiliki pelanjut agama Allah yang lurus dari sulbinya telah lama digayutkan di langit dengan temali do’a. Harapan itu tak pernah hilang. Hingga ketika rambutnya memutih, Ibrahim pun menuai buah kesabaran dan baik sangkanya pada Sang Pencipta. Lahirlah Isma’il, seorang putra yang santun, amat sabar, dan bijaksana.

Lalu bayangkanlah ketika sang ayah, yang menyayangi putranya bagai kakek menggayun cucu itu diperintahkan meninggalkan si bayi merah dan ibunya di padang gersang tak bertanaman. Allah yang memberinya kesabaran menanti. Allah yang beberapa cecah di depan mengaruniakan sang buah hati. Allah yang memerintahkan agar mereka berpisah kini. Berpisah tanpa janji untuk berjumpa lagi. Ringankah itu bagi Ibrahim?

Jawaban sejatinya adalah, “Tidak”.

Dan bayangkan, seorang ayah yang tak menyaksikan bagaimana tumbuh kembang putranya, lalu ketika anak itu sampai pada umur sanggup membantu kerja-kerjanya, ia didatangi mimpi sejati tiga malam berulang turut. Sebuah gambar yang jelas, sebuah tayangan yang tak bisa di lain tafsir. Ia menyembelih Isma’il. Dan itu perintah. Sesudah penantian, ada kelahiran sekaligus perpisahan. Sesudah perpisahan ada pertemuan, lalu perintah membunuh sang pengobat rindu. Dengan tangannya sendiri. Ringankah itu bagi Ibrahim?

Jawaban sejatinya adalah, “Tidak”.

Banyak orang beranggapan bahwa ikhlas itu harus ditandai rasa ringan dalam mengerjakannya. Jika terasa menyesak dalam dada dan terbeban dalam jiwa, demikian pendapat mereka, maka belumlah ikhlas namanya. Pada keadaan tertentu, dan ini tidak banyak, mungkin dianggap benar. Namun, dalam banyak hal ia tidak tepat. Bahkan fahaman ini bermasalah ketika membuat kita tak jadi beramal karena khawatir tidak ikhlas ketika telah terasa bahwa amal yang dititahkan memang berat adanya.

Mari saksikan Ibrahim yang merasa berat dalam banyak titik ujian penting di hidupnya. Tapi terasa berat itu ternyata tak menjadi ukuran bagi keikhlasannya. Ibrahim tentu saja ikhlas. Bahkan sangat ikhlas. Dan dialah salah satu makhluq terikhlas yang pernah tampil di pentas bumi. Keikhlasan memang tak selalu tumbuh dari rasa ringan dalam melaksanakan perintah. Ikhlas bisa saja tumbuh dari kerja-kerja berat mengalahkan nafsu diri. Pengorbanan. Begitu kita menyebutnya.

“Berangkatlah baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.s. At-Taubah: 41)

Tak pantas kita menghakimi orang-orang yang menampakkan rasa berat di dalam perjuangan. Justru bisa jadi pahala yang mereka terima jauh lebih besar daripada yang merasa beramalnya ringan-ringan saja. “Ajruki ‘alaa wadri nashaabik,” kata Sang Nabi pada ‘Aisyah. “Pahalamu senilai dengan kadar kepayahanmu.” Dan sejarah tak pernah menafikan bahwa ada orang-orang yang berangkat berjihad dengan ringan karena merasa justru lepas dari beban-beban keluarga; istri yang baginya cerewet, anak-anak yang rewel, atau nafkah yang sulit ditata. Begitu pula, ada yang merasa berat berangkat karena istri yang shalihah, anak-anak yang qu’rata a’yun, dan rumah sakinah penuh cinta.

sumber gambar: www.flickr.com
Maka, alangkah berharga jika ikhlas tidak dibatasi oleh kesan perasaan sesaat. Ringan atau berat. Biarkanlah jikapun amalan kita terasa ringan, hingga kita menikmatinya. Lalu melupakannya agar pahala yang ditetapkan tak terusik lagi. Dan biarkanlah pula jikapun amalan kita terasa berat. Agar kita menghayatinya, sembari berharap pahala agung dari sisi-Nya.

 
Sumber:
“Lapis-Lapis Keberkahan” oleh Ust. Salim A. Fillah
Posted by Unknown On 06.14 No comments READ FULL POST

Senin, 06 April 2015


“Sesungguhnya manusia pertama yang akan diadili pada Hari Kiamat,” demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits riwayat Imam Muslim, Ahmad, dan An-Nasa’i, “adalah orang yang mati syahid di jalan Allah.”

“Dia akan didatangkan, dihadapkan, dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat Allah yang di anugerahkan padanya di dunia,” lanjut beliau, “Lalu dia pun mengenali dan mengakuinya. Bertanyalah Rabb kita ‘Azza wa Jalla kepadanya, ‘Amal apakah yang kau kerjakan dengan nikmat-nikmat-Ku itu, wahai hamba-Ku?’ Dia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid di jalan-Mu, Ya Rabbi,’ Allah berfirman, ‘Dusta! Kamu berperang dengan niat agar dikatakan sebagai seorang gagah berani. Kau telah mendapatkannya, memang demikianlah yang dikatakan manusia tentang dirimu.’ Kemudian diperintahkan agar dia diseret pada mukanya. Lalu dia dilemparkan ke dalam neraka.”

“Manusia berikutnya yang akan dihakimi,” sambung beliau Sang Nabi, “adalah seorang yang membaca Al-Qur’an, mempelajari ilmu, serta mengajarkannya. Dia akan didatangkan, dihadapkan, dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Maka dia pun mengenali dan mengakuinya. Bertanyalah Rabb kita ‘Azza wa Jalla kepadanya, ‘Amal apakah yang kau kerjakan dengan nikmat-nikmat-Ku itu, wahai hamba-Ku?’ Dia menjawab, ‘Aku membaca Al-Qur’an, mempelajari ilmu, serta mengajarkannya semata-mata karena Engkau, Ya Rabbi.’ Allah berfirman, ‘Dusta! Kamu menuntut ilmu agar dikatakan sebagai seorang qari’. Kau telah mendapatkannya, memang begitulah yang dikatakan manusia tentang dirimu.’ Kemudian diperintahkan agar dia diseret pada mukanya. Lalu dia dilemparkan ke dalam neraka.”

“Manusia terkemudian yang akan dimahkamahkan,” pungkas Al-Habib Shallallahu ‘Alaihi wa Salla, “adalah seorang yang dilimpahi rizqi dan berbagai macam harta benda. Dia akan didatangkan, dihadapkan, dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Maka dia pun mengenali dan mengakuinya. Bertanyalah Rabb kita ‘Azza wa Jalla kepadanya, ‘Amal apakah yang kau kerjakan dengan nikmat-nikmat-Ku itu, wahai hamba-Ku?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infak pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena-Mu.” Allah berfirman, ‘Dusta! Kamu berbuat demikian supaya dikatakan sebagai seorang dermawan mulia. Kau telah mendapatkannya, memang begitulah yang dikatakan manusia tentang dirimu.’ Kemudian diperintahkan agar dia diseret pada mukanya. Lalu dia dilemparkan ke dalam neraka.”


Sebab hidup ini adalah ibadah kepada Allah, maka tugas kehambaan kita adalah mengemudi hati menujuNya. Di dalam hati itu, jaminan keselamatan dunia dan akhirat kita bernama keikhlasan. Dan betapa beratnya mengendalikan hati agar ia ikhlas kepada Allah.

Goda-goda untuk memuliakan diri di hadapan manusia dengan amal-amal kita, terus dihembuskan oleh hawa dan dinyalakan oleh syaitan. Amat besar gelora dalam dada agar amal dilihat, didengar,, dikisahkan, dipanggungkan, dan ditayangkan. Amat tinggi hasrat dalam hati agar diri ditakjubi, dipuji, dan dianggap tinggi.

Padahal para pendahulu kita yang shalih lebih memilih untuk menutup rapat-rapat keshalihannya dari indra manusia. Mereka tidak mengizinkan kemesraannya dengan Allah dilihat dan didengar serta ditakjubi dan dipuji oleh sesama. Mereka berjuang untuk merahasiakan amalnya, sekeras upaya mereka untuk beramal itu sendiri.

Demikianlah, “Tidak sempurna suatu amal baik kecuali dengan tiga perkara,” ujar Imam Ja’far Ash-Shadiq kepada Imam Sufyan Ats-Tsauri Rahimahumallah, “yaitu menyegerakannya, mengganggpanya kecil, dan merahasiakannya.”


Sumber :
“Lapis-Lapis Keberkahan” oleh Ust. Salim A. Fillah
Posted by Unknown On 17.12 No comments READ FULL POST

Minggu, 05 April 2015

Kalau engkau bimbang menghadapi orang-orang di sekitarmu yang sulit memahami jalan pikiranmu. Atau di saat kawan dan keluarga yang engkau kira akan menjadi pendukung setiamu, tetapi justru menjadi orang pertama yang tidak mempercayaimu dan satu per satu meninggalkanmu. Atau manakala keletihan menyergapmu dan semua apa yang engkau kerjakan dibalas dengan penghinaan dan caci maki belaka. Atau bahkan ketika engkau semata-mata berpijak pada kepentingan yang lebih luas dan bersedia meminggirkan ego dan minat pribadi, masih saja mereka mempertanyakan dan mempersoalkan apa yang tengah engkau kerjakan... Maka ketauhilah, pada saat itu engkau sebaiknya kembali membaca sejarah Nabi Muhammad saw.

Ada banyak titik sepertimu saat ini, saat Muhammad bisa mempertimbangkan untuk menghentikan ikhtiar
Mungkin saat dalam rukunya ia dijerat di bagian leher
Mungkin saat ia sujud lalu kepadanya disiram isi perut unta
Mungkin saat ia bangkit dari duduknya lalu dahinya disambar batu
Mungkin saat ia dikatai gila, penyair, dukun, dan tukang sihir
Mungkin saat ia dan keluarga diboikot total di syi’b Abi Thalib
Mungkin saat ia disaksikan sahabat-sahabatnya disiksa di depan mata
Atau saat paman terkasih dan istri tersayang berpulang
Atau justru saat dunia ditawarkan kepadanya; tahta, harta, wanita...

Engkau akan mulai mengerti dan mengenal lebih dekat lagi sosok manusia agung bernama Muhammad. Engkau akan sadar betapa sungguh susah menjadi seorang Muhammad. Kini, engkau akan tersadar betapa bukan hanya engkau yang mengalami semua cobaan itu. Engkau tidak sendirian dan tidak pernah sendirian. Shallu ‘ala an-nabiy. Mari bershalawat kepada Nabi!

Muhammad tahu, kawan
Ridha Allah tak terletak pada sulit atau mudahnya
Berat atau ringannya, bahagia atau deritanya
Senyum atau lukanya, tawa atau tangisnya

Ridha Allah terletak pada
Apakah kita menaatiNya
Dalam menghadapi semua itu
Apakah kita berjalan dengan menjaga perintah dan laranganNya
Dalam semua keadaan dan ikhtiar yang kita lakukan

Membaca ulang kisah hidupmu membawa kami kembali melintasi gurun kehidupan, bertahta kepada jejak pergulatan iman yang kau wariskan, bersenandung pada gerak awan yang menaugi setiap langkahmu dalam kasih sayang semesta, bercermin pada kisah kasihmu dengang ahlul baitmu yang suci, bergetaran saat terbayang betapa jatuh bangunnya dirimu menerima amanah Ilahi, dan berurai air mata menyimak hikmah ketika sisi manusiawimu bersentuhan dengan keaguangan Ilahi. Duhai manusia pilihan, tak ingin kami lepaskan energi kami dengan sia-sia setiap kusebut namamu, datanglah kembali, oh Muhammad... Ya Sayyidi... Ya Rasulallah...


Ashabul Kahfi Melek 3 Abad oleh Dr. Nadirsyah dan dr. Nurrussyariah.
Dalam Dekapan Ukhuwah oleh Ust. Salim A. Fillah.
Posted by Unknown On 18.37 No comments READ FULL POST

Sabtu, 04 April 2015

Seorang gembala suatu hari merauti kayu dengan pisaunya. Kemarin, tongkat yang biasa dipakainya untuk menghalau dan mengatur ternaknya patah. Kayu yang disisiki itu adalah bakal tongkat baru.

Di tengah keasyikannya mengukir hiasan pegangan di tongkat barunya, salah satu dombanya tiba-tiba memekik-mekik. Domba itu melompati kawanannya dan lengkingannya makin nyaring tiap kali dia menapakkan kakinya ke tanah. Kawanan domba itu kisruh kalang kabut, sementara si pembuat onar terus mengacau. Dalam keriuhan, larinya kian cepat. Akhirnya dia menghambur menubruk tuannya dengan jerit menyayat hati. Sang gembala terpelanting kaget. Pisau di tangannya terlempar dan seraut serat kayu menghujam menyusup ke dalam jari telunjuknya.

Sang domba terguling-guling, lalu bangkit. Lalu tenang. Dia mulai berjalan lagi, sedikit pincang, namun tak lagi kesetanan. Sang gembala marah dan menghalau dengan pukulan. Dia tak tahu penyebab kehebohan barusan. Dia tak sadar bahwa sebuah paku berkarat yang tadi menancap di kaki sang domba kini tergeletak di dekatnya.

Dan dia meraut lagi. Tak peduli pada telusuk kayu yang merasuki jarinya. Pasti sakit jika dicabut, pikirnya. Biarkan saja.

Hari berganti dan selusup itu mulai membuat jarinya bengkak, meradang, dan menggembung nyeri. Sakit sekali. Dia berteriak mengaduh tiap kali sesuatu menyentuhnya. Bahkan tiap kali berjabat tangan dengan rekan, dia meringis kesakitan, marah, dan menumpah serapahi mereka.

“Aw...sakit sekali!!” Jeritnya.


Orang terluka, seperti cerita tentang gembala ini, merasa sakit bukan karena apa yang sedang terjadi di luar memang menyakitkan. Dia merasakan sakit itu karena dia sedang terluka. Lalu mereka menanggapi di luar batas kewajaran, melebih-lebihkan, dan bertingkah dengan rasa terancam yang begitu tinggi.

“Kau tahu John, orang terluka melukai orang lain. Ketika seseorang mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyakitkan, kau perlu memeriksanya lebih dalam. Kau perlu melihat hingga ke bawah permukaan.” Seorang kawan berujar kepada John C. Maxwell dalam Winning with People.

“Mereka menyangka tiap teriakan keras ditujukan pada mereka.” (Qs. Al-Munafiqun: 4)

Kesalahan terbesar dari orang-orang yang terluka adalah mereka tak segera menyembuhkan luka lamanya. Telusuk yang menganggu itu dibiarkan. Jadilah orang-orang yang terluka itu sebagai mereka yang enggan berubah. Dia memilih menikmati lukanya. Dia merawat baik-baik telusuk itu agar tetap berada di dalam kulitnya. Dia kian kemari menampilkan kesakitannya dengan segala cara.

“Orang yang terluka,” kata John C. Maxwell, “Juga sulit menerima kegagalan.” Semua ketidakberesan dalam hidup yang sebenarnya bersumber dari lukanya tak disikapi sebagai pelajaran berharga. Dia selalu menemukan orang, pihak, kelompok, benda atau apapun yang menurutnya telah menjadi sebab dari segala kepahitan. Telusuk itu masih ada di sana, mengeram dalam diam namun mendatangkan kuman-kuman. Tapi tiap orang yang menyalaminya dituduh sebagai sumber siksaan. “Kalian menyakitiku,” erangnya.

Orang terluka kurang suka membahas persoalan. Mereka tak tertarik untuk memperbincangkan akar masalah. Yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka kesakitan. Rasa tersiksa itu disebabkan seseorang telah menyentuh luka mereka, entah dengan cara apa. Mereka selalu memandang dirinya sebagai korban. Rasanya pedih. Dan bagi mereka, orang-oranglah yang salah. Selesai.

Lebih lanjut, orang terluka tak terlalu suka belajar dari orang lain. Itu akibat dari menganggap bahwa orang lain bersalah dan menyakiti dirinya. Dia juga enggan bertindak. Dia tak bergairah melakukan sesuatu untuk menghadapi berbagai masalahnya dan memecahkannya. Ya, karena dia menganggap semua ini bukan salahnya. Seharusnya orang lain yang telah menyakitinya itu yang bertindak terlebih dahulu. Seharusnya mereka yang meminta maaf. Seharusnya mereka yang memberi hadiah. Seharusnya mereka yang mengerjakan tugas. Seharusnya mereka yang menanggung biaya. Seharusnya mereka.

Begitulah. Apakah kita termasuk orang-orang yang terluka?

Ustadz Salim A. Fillah

“Dalam Dekapan Ukhuwah”
Posted by Unknown On 19.03 No comments READ FULL POST
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube