Kamis, 30 Januari 2014

Malam 31 Desember, malam yang kalau kata orang-orang "moment yang tepat buat merangkai resolusi kehidupan yang baru", yang di rayakan dengan berbagai cara oleh sabahat, kerabat, atau saudara kita.

Malam itu sebuah kisah mantap sekali tertancap di hati. Suatu pelajaran berharga, bahwa di dunia ini masih banyak orang-orang baik, orang-orang yang masih memiliki kepedulian tinggi terhadap bumi, dan kita harusnya menjadi satu di antara mereka, bergabung bersama golongan itu, agar dunia ini tetap baik-baik saja.

Pusdai. “Muhasabah akhir tahun”, judul ini membuat saya nekad berangkat malam walau seorang diri, meski lupa-lupa ingat tempatnya. Soal kesasar? "Ah, udah biasa ini", pikirku. Tapi tenyata kekhawatiran itu meleset, berkat seorang bapak yang nunjukin jalan, orang baik yang kutemui di angkot, Alhamdulillah. Pertolongan Allah memang selalu datang dari arah mana saja, bahkan seringkali tak terprediksi, membuktikan bahwa Dia memang Dzat yang Maha Baik.

Wuiiih…sampe di sana, tenyata hampir tiap jeda pembicanya, ada sesi bagi-bagi hadiah. Saat masuk kita dibagiin kupon. Nah, nomor yang terambil oleh panitia, bisa dapat hadiah-hadiah menarik, seperti dispenser, tv, sampe umrah. Ikutan dag dig dug juga sih, berharap hadiah itu bisa nyamper satuuuu aja di pangkuanku. Haha. Tapi…karena ternyata ada gerombolan ibu yang terlihat lebih excited nunggu nomornya kesebut, lantas denger sorakan “yaaa…..”nya yg gede' banget saat harapan mereka tak terwujud, irama jantung saya yang tadinya tak menentu kembali stabil, malah asyik ngakak tiap kali beliau-beliau grasak-grusuk nyari kertas nomor saat undian akan diumumkan kembali.

Saat lagi lapar-laparnya, eh Alhamdulillah, tenyata ada pembagian snack. Namun, setelah acara itu beres, entah siapa yang memulainya, tepat di samping pintu masuk, menggunung sudah sampah kotak-kotak dan gelas aqua bekas makan tadi. Jadi pengen teriak “Wooooiiii…ini mesjid! Siapa yang buang sampah sembarangan begini??? Matanya dimana??? Hatinya dimana??? Ini bukan tempat sampah!!!” (maunya pake' toa), hurfth…! Benar-benar pemandangan yang miris. Di mesjid aja berani gini, apalagi di tempat umum lainnya. Hiks, pengen nangis. Jadi lapar lagi deh. -_-

Pemandangan “gunung sampah” itu buat saya mikir, bukankah ini sama halnya dengan dosa yang sering kita lakukan di keseharian? Awalnya mungkin hanya seorang saja yang jadi pelopor, 1 kardus sisa makan nyander di dinding mesjid, terus 2, 3, 4, dan seterusnya. Mungkin mereka pikir “tak apa-apa, toh sampah yang pertama saja tidak ditindaki, orang yang buang sampah di situ juga nyantai-nyantai aja, berarti untuk mereka juga tak ada masalah”. Tak jauh beda dengan keburukan yang sering mengisi hari kita, ketika 1 teman membicarakan kejelekan orang, yang lain ikut nimbrung, dengerin, bahkan nambah-nambahin, dan terasa biasa saja, santai saja, tak meninggalkan jejak rasa bersalah sudah memakan bangkai saudara sendiri. Dan tercenganglah kita bila tahu dosa kita akibat hal itu sudah menggunung, menjulang tinggi, kayak tumpukan sampah depan saya ini.

Padahal mengekor pada keburukan itu sudah jelas-jelas bukan sesuatu yang baik, eh, namanya juga ke-BURUK-an. Mengadakan kerusakan di bumi.

Kalau kita bisa jadi pelopor dalam kebaikan, pengikut dalam kebenaran, mengapa kita harus menjadi pelopor dalam keburukan, pengekor dalam kesalahan? Gitu bukan?

Akhirnya, setelah mikir bagaimana caranya agar sampah ini berada tempat yang seharusnya. Maka saya dan seorang sahabat, memutuskan nyari trash bag (ingat kegiatan khidmat SSG). Kalau tak salah, saat itu jam hampir menunjukkan pukul 1 malam. Di jalan tentu saja masih rame, “namanya juga tahun baru” kata sahabat itu. Mulai dari tua muda, cwo, cwe, semuanya tumpah di jalan, bikin kendaraan-kendaraan berjalan merayap. Bunyi terompet terdengar dari berbagai penjuru, seakan tak mau kalah, kembang api yang pecah di langit ikutan ribut, belum lagi suara cekikikan remaja-remaja labil berpasangan yang sangat menggangu. Seandainya bumi bisa menangis, langit bisa mengeluh, maka saya yakin, sudah ditumpahkan semua kekesalannya. Ulah manusia yang begini nih, membuat wajah dunia semakin buruk saja.

Kembali soal trash bag, ke sana kemari, g ketemu-ketemu, g ada yang jualan, yang banyak malah yang jualan rokok, orang-orang yang sepertinya tak merasa terganggu dengan tulisan “merokok itu membunuhmu” iklan yang banyak terpampang di sekitar situ. Ckckck.

Merasa asing sendiri dengan gamis, pakaian yang lain dari yang lain, di tengah hiruk-pikuk tak menentu di luaran sana, kami mempercepat langkah, kembali ke “tempat aman”, mesjid.

Baru nyampe teras, kami disambut sapaan akhwat-akhwat relawan RZ (Rumah Zakat), “sampah yang tadi, lagi di beresin sama seorang ikhwan, dipisah-piisahin, kotaknya dibuka-buka gitu.” Membuat saya memasang ekspresi heran.

“Oh, emang dia panitia?” Sahabat di samping saya spontan bertanya.

“Katanya bukan.” Seorang akhwat menjawab dengan wajah tak kalah bingung.

“Hmm…trus sampahnya mau digunain? Mau dipake sama akang itu?” Tak pikir panjang, pertanyaan-pertanyaan itu meluncur begitu saja, membuat saya cekikikan dalam hati. Sepertinya saya kebanyakan nonton reality show yang ceritanya tentang orang-orang yang ngumpulin and misahin sampah untuk dijual.

“G tahu teh.” Eh, pertanyaan yang kupikir konyol itu dijawab juga oleh seorang teman. Tawa dalam hati saya semakin gede’.

Sampe di lokasi, benar saja, seorang ikhwan duduk maniiiisss sekali, menghadap gunung sampah tadi.

Membuat kami para akhwat saling senggol-senggolan bahu, “Bantuin yuk!” Salah seorang akhwat berbisik.

“Iya ih, tapi gimana? Tanyain dulu coba, sampahnya mau dipake apa g? Kalau g, langsung bantuin buang aja, kalau dipake mah, kita bantuin misah-misahin.” Kata-kata konyol kembali melesat dari bibirku. Sendiri aku tertawa lagi. “G perlu nanya! Harusnya langsung dipisahin aja neeenggg….! Mau dipake atau g sama aja kan? Soal buang mah, belakangan!” Hatiku nyalahin si mulut.

“Teteh aja yang nanyain, ayolah teh!” Celutuk seorang di antara kami, usulan itu didukung akhwat lainnya. "Eh, kok malah aku yang diutus? Oleng nih!" Protesku dalam hati.

Aduuuhhh…keringat dingin nongol tanpa aba-aba. Malu sih, tapi kalau g ada yang mulai, lantas sampai kapan kita mau berdiri begini? Sambil ngelihatin si ikhwan beresin sampah itu sendiri.

Finally, setelah nimbang untung ruginya, akhirnya saya nanya, “punten kang, ini teh mau dipake' yah? Kalau dipake' mah kita bantuin misahin, kalau g, kita bantu buangin aja yah?” (Gubrak!! Kok kata-kata itu lagi yang keluar? 3 kali? Salah!! Salah!! Cut! Cut!) Sepersekian detik setelah saya ngomong begitu, si ikhwan target balik wajah, senyum, terus bilang “G…g dipake kok. Oh iya silahkan!” Lalu senyum lagi, memperlihatkan deretan kawat giginya, yang entah itu hanya ilusi saya atau beneran. Segera kutundukkan mataku, mending lihat sampaaaahhhh..hiks, maaf kang!

Denger pernyataan si ikhwan, akhwat-akhwat yang numpuk di belakang langsung nyerbu, ngesekusi barang-barang buangan itu. Dibuka kotaknya, dipisahin, begitu terus. Tapi tenyata, banyak juga. Kami yang waktu itu kalau g salah berlima, masih kewalahan. Akhirnya seorang teman, ngesms relawan RZ dan anak SSG (Santri Siap Guna) lainnya yang mungkin masih di mesjid, lumayan buat tenaga tambahan.

Dari hasil panggilan itu, hanya datang 2 ikhwan dan 4 akhwat tambahan, yang lainnya udah pada pulang -_-

Set..set..set..sampah akhirnya sudah rapi bersatu bersama segolongannya. Sebagian ditumpuk dalam trash bag dari panitia acara, dan yang lain dikardusin. Pukul berapa tepatnya saat itu, saya tak ingat lagi. Sepertinya lumayan lama, ngelihat pengunjung mesjid lain sudah terlelap di posisi masing-masing. Tapi lelah tak terasa, bagaimana tidak bila kawan-kawan ini adalah orang-orang asyik, obrolan mereka seperti radio hiburan, ups, hehe…Candaan mereka bikin senyum-senyum, dan tentu saja ketika kita tak sendiri, bersatu dalam melakukan suatu hal, maka hal itu akan terasa ringan, ringan di fisik dan ringan di hati.




Dan walau kata orang ini hanya hal yang kecil saja, hanya masalah sampah saja, tapi…kalau dibiarkan justru bibit-bibit kecil itulah yang akan menjadi sesuatu hal besar, banjir sekota misalnya, yang dampaknya bisa merembes ke berbagai sektor lainnya.

Then, satu pelajaran penting lagi, bahwa kalau keburukan bisa nular, kayak buang sampah sembarangan rame-rame ini, maka seharusnya kebaikan lebih cepat tersebar. Bukankah hati-hati kita pada dasarnya adalah hati-hati yang merindu kebaikan, awalnya suci? So, tinggal dibersihkan saja, disapu lagi, dilap lagi dengan hal-hal mulia, seperti berkumpul dengan orang-orang shaleh, orang-orang baik yang punya semangat juang untuk kebaikan.

Seorang ibu terdengar berbincang dengan temannya.
“Nah, remaja-remaja yang seperti inilah yang dibutuhkan dunia, remaja-remaja yang begini inilah yang diharapkan bangsa.” Kira-kira begitu celutuknya.

Kubalikkan badan, mencari sumber suara, lalu pandanganku tertumbuk pada tatapan si ibu yang ternyata sedang menyaksikan kegiatan ini. Senyum kami bertemu.

Finally, ingin kusampaikan pada kawan-kawan malam itu, "terima kasih karena telah memberikanku sesuatu yang lebih dari sekedar kado tahun baru, lebih dari sekedar hadiah undian." Inilah kebaikan yang berjama’ah dan sepertinya benar adanya, ini yang dibutuhkan negara dan dunia. Kalian bibit-bibit “Khairunnas Anfa’uhum Linnas”. Kalian keren. ^_^

Oleh Rifa'atul Mahmudah
Posted by Unknown On 01.56 No comments

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube