290913, aku
berusaha menahan kelopak mataku yang berkali-kali jatuh mengatup. Berkomat-kamit apa saja, melirik
ke kanan dan ke kiri untuk melatih otot mata berharap sadar segera menyergap.
Tapi rasa ini terus memburu. Aku antara sadar dan tidak. Lalu pundakku dibelai lembut seorang teman, tersenyum
tulus, meski wajahnya tampak sama, mengantuk.
Setelah
kurang lebih 6 tahun lamanya
tempat seperti ini tidak kujamah lagi. Aktivitas
seperti ini dalam sebulan bahkan bisa dihitung jari. Kemarin
takdir ini berlaku, membuat memoriku terkulai, terhampar satu-satu di dalam
benak, di setiap langkah dan kejadian yang tercipta, tak jauh beda.
Pesantren,
menjadi santri lagi.
Hawa
ini kembali merasuk, perasaan yang kusuka, yang sering membawa aku ke ruang
rindu. Bila sebelum-sebelumnya jejaring sosial menjadi teman bermalam minggu
yang paling setia, maka malam
ini tidak. Ada rasa di dada yang bergejolak lompat ketika bergabung menjadi
salah satu diantara 183 orang di tempat ini. Tujuan, impian, dan harapan kita mungkin berbeda. Tapi
tentu saja, tempat seperti ini akan memaksa diri-diri kita untuk menjadi lebih
baik. Seperti kata guru, “Ada banyak pemuda-pemudi di luar sana,
kuantitas waktunya boleh sama, tapi kualitasnya yang membedakan.”
Aku
masih terduduk, suara itu mengalun
dengan lembutnya sama seperti minggu lalu di tempat yang sama, iqamah, seperti disetting otomatis, aku ikut bangkit
dari tempatku. Walau memang langkah kaki berat, sungguh
sangat malas, kewajiban mengantarkanku
ke tempat ini lagi,
Tahajjud hingga waktu Subuh datang. Berdiri bershaf lurus dengan jemaah lainnya. Memulai
dengan niat,
dan beginilah lagi, tes…tes…satu satu air mataku jatuh menggenangi mukena,
deras sekali. Sungguh, aku tak tahu apa yang terjadi, hanya saja yang kurasakan
seluruh tubuhku menggigil takut, merasa hina, kerdil. Ayat-ayat yang
dilantunkan sang imam begitu jelas memamntul-mantul di gendang telinga,
menyusup pelan ke dalam dada. Perasaan apa
ini? Sedih yang menentramkan. Dan kantuk
yang tak tertahan tadi, menguap entah kemana. Aku asyik “sendiri”.
Malam
ahad, menjelang subuh. Ritual ini menjadi kewajiban kita, para calon SANTRI
SIAP GUNA. Pelatihan yang diadakan Sabtu-Ahad ini adalah kegiatan baruku.
Ringan, tapi memang penuh godaan. Bermanfaat, tapi memang penuh tantangan. Bagi
yang tidak terbiasa, maka bersusah-susah dahulu sepertinya memang pembuka jalan
untuk memperoleh kedamaian yang luar biasa ini.
Dan
ketika hal ini menjadi bagian dari diri, sesuatu yang diistiqomahkan. Maka
bersiaplah dengan sensasi kesejukan hati yang luar biasa nikmatnya. Apalagi
diimami dengan suara merdu yang jelas sekali pelafalannya, meski tak semua arti
dari ayat-ayat yang dilantunkan itu bisa kupahami dengan baik, indahnya firman
Allah merasuk ke hati. Itulah mungkin sebabnya, menjadi imam itu perlu yang
terbaik dari yang ada.
Waktu
berganti, diklat pun usai. Entah mengapa, rasanya ada yang ikut hilang
bersamaan dengan kawan seperjuangan yang mulai sibuk satu-satu ke aktivitas
semula. Tak ada lagi malam dimana kita saling membangunkan, menyapu lembut
pundak teman yang terkantuk. Kemana shaf-shaf itu, dimana kakiku dan kakimu
bersentuhan, rapat, menunduk, hening bersama? Masihkah kita menyapaNya meski
tak diimami? Masihkah ada bulir-bulir bening dari mata yang jatuh menggenang di
pipi? Atau masihkah kita berhasil mengalahkan kantuk yang menyergap untuk
bertemu sang Maha? Ya, bahkan mungkin sekedar niat, apakah masih terbit di
hati-hati kita? Masihkah kita istiqomah?
Ah...aku
rindu. Kuharap ini bukan rasa kepunyaanku saja. Semoga kau pun merindu.
Tahajjud kita. Lalu sepertiga malam sebentar kita bangun sama-sama, meski tak bersama.
sumber gambar: http://www.tipspengetahuan.com. |
0 komentar:
Posting Komentar