Rabu, 03 September 2014

290913, aku berusaha menahan kelopak mataku yang berkali-kali jatuh mengatup. Berkomat-kamit apa saja, melirik ke kanan dan ke kiri untuk melatih otot mata berharap sadar segera menyergap. Tapi rasa ini terus memburu. Aku antara sadar dan tidak. Lalu pundakku dibelai lembut seorang teman, tersenyum tulus, meski wajahnya tampak sama, mengantuk.

Setelah kurang lebih 6 tahun lamanya tempat seperti ini tidak kujamah lagi. Aktivitas seperti ini dalam sebulan bahkan bisa dihitung jari. Kemarin takdir ini berlaku, membuat memoriku terkulai, terhampar satu-satu di dalam benak, di setiap langkah dan kejadian yang tercipta, tak jauh beda.

Pesantren, menjadi santri lagi.

Hawa ini kembali merasuk, perasaan yang kusuka, yang sering membawa aku ke ruang rindu. Bila sebelum-sebelumnya jejaring sosial menjadi teman bermalam minggu yang paling setia, maka malam ini tidak. Ada rasa di dada yang bergejolak lompat ketika bergabung menjadi salah satu diantara 183 orang di tempat ini. Tujuan, impian, dan harapan kita mungkin berbeda. Tapi tentu saja, tempat seperti ini akan memaksa diri-diri kita untuk menjadi lebih baik. Seperti kata guru, “Ada banyak pemuda-pemudi di luar sana, kuantitas waktunya boleh sama, tapi kualitasnya yang membedakan.”

Aku masih terduduk, suara itu mengalun dengan lembutnya sama seperti minggu lalu di tempat yang sama, iqamah, seperti disetting otomatis, aku ikut bangkit dari tempatku. Walau memang langkah kaki berat, sungguh sangat malas, kewajiban mengantarkanku ke tempat ini lagi, Tahajjud hingga waktu Subuh datang. Berdiri bershaf lurus dengan jemaah lainnya. Memulai dengan niat, dan beginilah lagi, tes…tes…satu satu air mataku jatuh menggenangi mukena, deras sekali. Sungguh, aku tak tahu apa yang terjadi, hanya saja yang kurasakan seluruh tubuhku menggigil takut, merasa hina, kerdil. Ayat-ayat yang dilantunkan sang imam begitu jelas memamntul-mantul di gendang telinga, menyusup pelan ke dalam dada. Perasaan apa ini? Sedih yang menentramkan. Dan kantuk yang tak tertahan tadi, menguap entah kemana. Aku asyik “sendiri”.

Malam ahad, menjelang subuh. Ritual ini menjadi kewajiban kita, para calon SANTRI SIAP GUNA. Pelatihan yang diadakan Sabtu-Ahad ini adalah kegiatan baruku. Ringan, tapi memang penuh godaan. Bermanfaat, tapi memang penuh tantangan. Bagi yang tidak terbiasa, maka bersusah-susah dahulu sepertinya memang pembuka jalan untuk memperoleh kedamaian yang luar biasa ini.

Dan ketika hal ini menjadi bagian dari diri, sesuatu yang diistiqomahkan. Maka bersiaplah dengan sensasi kesejukan hati yang luar biasa nikmatnya. Apalagi diimami dengan suara merdu yang jelas sekali pelafalannya, meski tak semua arti dari ayat-ayat yang dilantunkan itu bisa kupahami dengan baik, indahnya firman Allah merasuk ke hati. Itulah mungkin sebabnya, menjadi imam itu perlu yang terbaik dari yang ada.

Waktu berganti, diklat pun usai. Entah mengapa, rasanya ada yang ikut hilang bersamaan dengan kawan seperjuangan yang mulai sibuk satu-satu ke aktivitas semula. Tak ada lagi malam dimana kita saling membangunkan, menyapu lembut pundak teman yang terkantuk. Kemana shaf-shaf itu, dimana kakiku dan kakimu bersentuhan, rapat, menunduk, hening bersama? Masihkah kita menyapaNya meski tak diimami? Masihkah ada bulir-bulir bening dari mata yang jatuh menggenang di pipi? Atau masihkah kita berhasil mengalahkan kantuk yang menyergap untuk bertemu sang Maha? Ya, bahkan mungkin sekedar niat, apakah masih terbit di hati-hati kita? Masihkah kita istiqomah?


Ah...aku rindu. Kuharap ini bukan rasa kepunyaanku saja. Semoga kau pun merindu. Tahajjud kita. Lalu sepertiga malam sebentar kita bangun sama-sama, meski tak bersama. 

sumber gambar: http://www.tipspengetahuan.com.

Posted by Unknown On 08.04 No comments

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube